Love is a game, they said. Cinta adalah permainan, yang
dimainkan oleh dua orang. Aturan permainannya sederhana: yang satu harus
membuat yang lain bahagia. Kedengarannya mudah, tetapi jika memasukkan faktor
ego yang menghendaki kebahagiaan bagi diri sendiri, urusan menjadi runyam.
Ruwetnya begini (khusus pada cewek): pada umumnya cowok akan bahagia jika bisa
membahagiakan ceweknya. Jadi, bagi cewek ada dua hal untuk memenangkan
permainan ini, pertama ia harus membahagiakan cowoknya, kedua ia sendiri harus
bahagia, yang mana tidak dapat terjadi bila cowoknya tidak membahagiakan. Hal
ini biasanya tidak terjadi pada cowok, karena ia tidak harus kelihatan bahagia
untuk membahagiakan cewek. Itulah ukuran yang dari jaman dahulu sudah berlaku:
cowok itu pemimpin, serba-logika, dan dengan keperkasaan ia membahagiakan
gadis-gadisnya.
Baiklah, yang pertama adalah pengamanan. Sejak pernyataan
cinta antara aku dan Bob yang menghebohkan itu, aku mempunyai sebuah kebiasaan
baru: menelan pil putih kecil. Pil KB. Pil ini cara pakainya memang harus
dimulai pada hari pertama mens, yang kebetulan terjadi (benarkah kebetulan?)
ketika untuk pertama kalinya Bob memasukkan penisnya ke dalam liangku. Efeknya
hebat, berdarah-darah… tapi tentu saja itu bukan darah perawan, melainkan darah
mens. Malam itu aku langsung ke apotik membeli beberapa pak, karena aku yakin
bahwa semua ini akan berlangsung lama.
Yang kedua adalah, jangan mengumbar seks. Kalau sedang
datang bulan, tentu saja tidak bisa berhubungan. Tetapi ketika sudah bersih
pun, bukan berarti setiap saat siap ditancap. Dalam permainan cinta, justru
ketegangannya harus dibangun dahulu… dan lelaki membutuhkan waktu untuk mengisi
kantung maninya. Jika terlalu sering dikeluarkan, ia malah menjadi loyo dan
tidak bersemangat. Apa enaknya bersetubuh dengan lelaki yang loyo?
Sejak aku jadian dengan Bob, aku mengubah penampilanku.
Sekarang aku lebih sering memakai sweater yang besar, terbuat dari rajutan
dengan benang berwarna merah dan perak, menutup dari leher sampai sejengkal di
atas lutut. Di bawahnya aku memakai jeans yang menggantung di panggul, seperti
gayanya Agnes Monica (atau Britney Spears?), yang panjangnya hanya sampai
betis. Sangat casual, menyembunyikan lekuk tubuh dan terutama payudaraku — aku
merasa bahwa keduanya semakin besar belakangan ini. Aku mengikat rambutku yang
sebahu dengan kuncir ekor kuda, mengenakan make-up tipis — tapi aku meyakinkan
diri bahwa aku harus tampil lebih cantik dari biasanya.
Semua ini adalah gayanya Bob. Dia pemikir, tenang, tidak
tergesa-gesa. Ia menyukai kesederhanaan, juga kecantikan. Baginya menatap wajah
cantik lebih menarik ketimbang menatap tubuh yang seksi, atau serba
buka-bukaan. Katanya, yang tertutup itu menawarkan fantasi, khayalan yang bisa
terwujud apa saja. Lebih menarik ketimbang sekedar memperlihatkan pusar atau
bahu atau paha, yang kadang justru terlihat berbercak, terlalu kurus, atau
terlalu gemuk. Ha, tapi tubuhku kan tidak berbercak, dan proporsional pula! Bob
hanya tersenyum.
“Kalau Rena, tubuhnya memang sempurna,” katanya lagi.
Dengan kesederhanaan ini, plus aku memberi waktu ekstra
untuk wajah dan rambut, malah mengundang lebih banyak pandangan lelaki. Mereka
nampak kecewa ketika menyadari bahwa aku sekarang ini sudah jadian dengan Bob.
Ah, mungkin Bob benar, memang lelaki justru senang yang seperti ini. Bob
menerangkan, jika lelaki tertarik melihat kulit perempuan, pikirannya hanya
ngeres saja. Tapi melihat kecantikan dan kesederhanaan, lelaki justru
merindukan. Tapi, aku mau agar Bob juga ngeres sesekali…
Satu hal yang dimiliki perempuan adalah, ada waktu terbaik
untuk bercinta. Tandanya terlihat dari lendir yang keluar dari vagina. Ketika
lendirnya kental, seperti putih telur, itu berarti awalnya. Ketika lendir
menjadi semakin encer, aku pun merasa lebih bergairah, birahiku tinggi. Jadi,
aku akan membuat agar Bob ingin berhubungan di saat-saat itu…waktu yang paling
enak, paling mengesankan. Seperti sekarang ini.
Ketika pagi itu aku dijemput Bob di tempat kost dengan
sepeda motornya, aku merapatkan tubuh ke depan. Di lampu merah, aku berbisik di
telinganya,
“Bob… enak banget di belakang. Aku nggak pake apa-apa lagi
di balik sweater ini.”
“Ha? Nggak pake apa-apa?”
“Nggak.”
“BH juga?”
“Nggak.”
“Celana dalam juga?”
“Nggak.”
“Gila!”
“Umm… nggak juga. Kan sweaternya besar. Tapi memang,
rajutannya menggesek-gesek puting. Rasanya geli-geli enak, apalagi kalau
ditekan seperti begini…”
Bob terdiam. Aku tahu, sekarang ini Bob mulai terbangkit
nafsunya. Tetapi kami segera sampai di kampus, langsung masuk kelas. Aku
bersikap biasa saja, walau merasakan seluruh rajutan yang lembut ini merangsang
birahiku amat tinggi. Liangku sudah mengeluarkan cairan yang bening, membasahi
bagian bawah celana jeansku. Untung sweaternya panjang, jadi tidak ada yang
bisa melihat, kecuali Bob yang sudah kuberi tahu. Hari itu, Bob masih mengikuti
satu kelas lagi, sedang aku bisa pulang. Ketika kami berpisah, aku memeluknya
sebentar dan berbisik di telinganya,
“Sayang…nanti kamu langsung ke tempatku yah. Aku punya
hadiah…”
Senyuman Bob memastikan bahwa ia akan hadir pada waktunya.
Sementara itu, aku harus bersiap.
..oo0O0oo..
Ketika pintu diketuk, aku berseru, “Masuk Bob…jangan lupa
kunci lagi yah…” Yah, siapa lagi kalau bukan Bob? Aku mendengarnya masuk dan
menaruh tasnya di depan. Tempat kostku memang mempunyai dua ruangan, di depan
untuk belajar, di dalam untuk tidur (dan bercumbu, tentu saja). Aku menanti
dengan jantung berdebar, mendengar langkahnya yang ringan menuju pintu
pembatas. Bob membukanya.
“Wow!” serunya.
Aku tersenyum.
“Hadiah yang…. luarbiasa…”
“Untukmu, sayang.”
Yang dilihat Bob saat itu adalah si molek Rena yang nyaris
telanjang bulat, berbaring di atas ranjang yang spreinya baru diganti, sprei
polos berwarna pink. Ditubuhku ada sebuah pita besar, pita krans dari kertas
krep berwarna hijau tua, yang membelit pantat, dengan ikatan kupu-kupu persis
di depan vagina. Di kedua putingku, aku memasang dua bunga mawar merah. Bob
mendekat. Aku tersenyum lebar — aku tahu ia suka sekali dengan model bibirku
dan gigiku, seperti bintang iklan katanya.
Bob menunduk, mencium hidungku. Bibirku yang memerah, bukan
karena lipstik, tapi karena menahan gairah sedari tadi. Kami berciuman,
mula-mula singkat, lalu menjadi semakin ganas. Bob menyingkirkan kedua bunga
mawar dari putingku, lalu meremas kedua dadaku yang sudah bulat membesar.
Ooohhh, enak sekali….
Bob lebih berhati-hati ketika menghadapi pita yang
melingkari pinggulku. Ia menemukan simpulnya, melepaskannya. Dengan satu
tarikan lembut, aku sungguh bertelanjang bulat di ranjang. Cairan dari liangku
telah meleleh ke paha sebelah dalam, terus ke bawah membasahi sprei. Aku
merenggangkan kedua kakiku lebar-lebar. Bibir kemaluanku sudah basah, juga
berwarna merah agak tua.
Seperti dikomando, Bob langsung membuka seluruh pakaiannya,
seperti kesetanan. Sepatu, baju, celana, pakaian dalam… semuanya terlepas dalam
hitungan detik. Senyumku semakin lebar. Aku berhitung, berapa lama sejak
terakhir Bob menyentuhku? Sudah hampir dua minggu. Selama itu kami berpacaran
hanya sebatas berpegangan tangan, selebihnya dipenuhi dengan diskusi dan
obrolan. Tetapi, sekarang waktunya pelepasan, karena aku sudah melihat penis
Bob mengacung dengan tegaknya. Dengan kerasnya, seperti sebatang singkong.
Oh ya, ada lagi satu hal… tadi pagi, ketika Bob menjemputku,
aku memberinya minum “lemon tea”. Ini sebenarnya adalah obat kuat lelaki,
barang baru dari Malaysia, yang kandungannya terbuat dari semacam sari buah
yang berasal dari Peru. Konon, dahulu suku Inca memakai sari buah ini untuk
meningkatkan daya tahan di waktu perang, juga daya tahan untuk bertempur dengan
para perempuan di waktu malam. Yang kudengar, dengan khasiatnya, seorang
laki-laki Inca sanggup menyetubuhi empat perempuan dalam satu malam.
Dan sekarang, laki-laki ini menyetubuhiku. Aku harus menjadi
sekuat empat perempuan untuk mengimbanginya.
“Kemari sayang…. aku berikan semuanya, buat kamu,” bisikku
perlahan. Isyarat ini langsung meledakkan Bob. Ia langsung mendekatkan ujung
penisnya ke bibir vagina, menggesekkan. Besar sekali, keras sekali, menggesek
kelentitku yang sudah lebih dahulu keras membesar. Ooh, betapa gatalnya! Betapa
inginnya! Aku mengangkat kedua kakiku, betisku menekuk sehingga ujung tumitku
menyentuh pantatnya. Aku menekan. Bob meluncur ke bawah. Masuk. Bless!
“Ooohhh… Bob… Bob… aku cinta padamu….” aku mulai meracau.
Rasanya dimasuki lagi sangat luarbiasa. Vaginaku sudah sangat siap, sangat
licin, menerima penis yang berdiameter begitu besar dan berurat pula. Dia masuk
dan tidak berhenti sampai seluruh batang kelaminnya terbenam di dalam tubuhku.
Bersatu tubuh denganku. Aku bergetar, seketika merasa tak tahan lagi dilanda
orgasme yang hebat. Gila, padahal ini baru sekali terbenam saja!
“Oohhh…. Bob… aku sungguh bahagia…. kamu hebat, sayang….”
rintihku ketika orgasmeku mulai melemah. Dan saat itu juga, Bob menjadi semakin
keras menekan, lalu aku merasakan penisnya menyemburkan semua isi kantong
maninya di depan mulut rahim, jauh di dalam liangku. Benar, betapa pernyataan bahagia
mampu merangsang laki-laki!
Tetapi, semua ini bukan merupakan akhir. Kemaluan Bob masih
sekeras singkong, demikian juga aku siap untuk disuntik lagi dengan penisnya.
Aku sekarang merangkak, dengan keempat tungkaiku di atas ranjang. Vaginaku
nampak berlendir putih, menetes-netes. Aku melapnya dengan tisu. Setelah
bersih, aku menghadapkan pantatku kepada Bob. Bibir kemaluanku berkedut-kedut,
seperti meminta disenggamai.
Bob menjawab dengan penisnya. Ia langsung menerobos dari
belakang. Ugh! Aku tersentak enak. Hanya bisa memejamkan mata, merasakan gaya
doggie ini berlangsung dengan keras dan cepat, dan sangat cepat, dan sangat
keras. Liar. Kenikmatannya pun menjadi semakin liar. Aku mulai merintih,
mengeluh, meracau….meraung. Bukan kata-kata yang dapat dipahami artinya, tetapi
suara-suara seorang perempuan yang sedang dipuncak kenikmatan ditancap lelaki
dari belakang.
Lima menit kemudian, tegangannya tidak tertahankan. Aku
terus orgasme hebat, ambruk ke ranjang karena tanganku tak kuat lagi menahan.
Hanya pantatku saja yang masih membulat ke belakang, menawarkan diri pada Bob,
kekasihku yang jantan.
“Bob… kamu mau masuk dari anal? Boleh Bob….” bisikku serak.
Aku ingin disetubuhi dengan segala cara. Termasuk disodomi. Bukankah dulu pun
aku pernah disodomi?
Penis Bob sudah amat penuh lendir, dari vaginaku dan dari
sisa ejakulasinya tadi. Kini penis yang masih keras itu mengarah pada lubang
anusku, dan mulai menyeruak masuk. Sakit. Enak. Sakit. Enak, enak, enak!
Penisnya begitu besar, seperti mendongkrak lubang anusku sebesar-besarnya,
tetapi aku justru merasakan kenikmatan yang amat sangat. Rasanya seperti sudah
melayang, terus dilontarkan lagi ke atas. Belum selesai satu gelombang orgasme,
aku sudah merasakan gelombang berikutnya datang dan semakin kuat.
Gila, siapa sangka disodomi bisa seenak ini?
Aku mencapai lagi orgasmeku, yang ketiga. Bob juga tidak
tahan, ia sekali lagi berejakulasi, kali ini di anusku. Gila-gilaan… sebulan
sekali, bolehlah.
Kami berdua lantas ambruk, tak kuat menahan beban. Sudah
lega. Mendadak saja, tubuh terasa lemas. Tapi aku masih harus ke kamar mandi,
bukan? Jadi dengan menguatkan kaki, aku berdiri dan melangkah ke kamar mandi —
kamar mandiku ada di luar, persis di sebelah pintu masuk kost. Tapi biasanya
selalu sepi, jadi aku begitu saja — telanjang bulat — masuk ke kamar mandi,
diikuti Bob di belakangku. Ia menenteng baju dan celananya. Buat jaga-jaga,
katanya.
Kami membutuhkan waktu dua menit agar air shower membasahi
dan melarutkan semua lendir yang tersisa. Akupun harus duduk di kloset,
membuang lendir dan mani dari kedua lubangku yang masih berdenyut-denyut. Air
dingin menolong, disemprotkan ke dalam untuk mengalir kembali ke luar.
Sementara itu, Bob juga membersihkan batang kemaluannya… yang masih tetap
besar. Obat kuat itu sungguh manjur! Cari sendiri, namanya: Trica Jus.
Selagi aku masih duduk di kloset, Bob datang menghampiri. Ia
nampak sedikit agak malu, sekaligus masih sangat terangsang.
“Ren… aku masih besar nih…”
“Ya sayang, kamu hebat sekali…”
“Dicium dong.”
“Apanya?”
“Ya ini… aku pengin tahu rasanya.”
“Mau di blow, sayang?”
Bob mengangguk.
Aku mulai dengan kepalanya. Sekarang sudah bersih, karena
tadi disabuni oleh Bob. Tapi jadinya semua lendir ikut hilang, kulitnya jadi
kesat. Aku menjilatinya seperti eskrim, dari kepala lalu turun hingga seluruh
batang itu tersapu oleh lidahku. Kembali jadi basah. Sekali lagi jadi licin.
Dan sekali ini, penis yang keras ini masuk ke lubang “ketiga” pada diriku.
Seumur-umur, aku dahulu selalu dipaksa untuk blowjob.
Sekarang, waktu aku dengan sukarela dan sukacita melakukannya, tak urung
menjadi canggung juga. Tapi, aku tahu beberapa hal. Misalnya, yang paling
sensitif adalah di lingkaran sekitar kepala cendawan penis laki-laki. Lalu,
jangan sampai penis kena gigi. Dan yang ketiga, selain mulut, gunakan
juga tangan untuk meremas dan mengocok batangnya. Sesekali masukkan semua, yang
mana tak muat, sambil dihisap perlahan. Caranya, kulum kepala penisnya sambil
kocok batangnya dengan satu tangan sementara tangan lain mengelus pelirnya.
Ternyata, ini memang cara yang ampuh. Kalau sudah mau dapat,
lepaskan kepalanya dari mulut, ganti dengan jari-jari menjepit saluran di
sebelah bawah, persis di pinggiran kepala kuat-kuat. Sebagai gantinya, kulum
kedua pelir yang di bawah itu… kalau sudah turun suhu birahinya, kulum lagi
penisnya. Begitu terus. Berulang-ulang.
Akibatnya, Bob nyaris sampai, lalu turun, lalu nyaris sampai
lagi, diturunkan lagi. Setelah tiga kali demikian, ia tidak tahan lagi. Bob
menahan kepalaku agar tetap di atas penisnya, dan sementara masih berada di
mulutku, ia memuntahkan maninya sekali lagi. Tidak terlalu banyak, jadi bisa
kunikmati, kurasakan, kutelan.
Bob lemas. Tiga kali ejakulasi. Tapi batangnya masih keras
juga…hanya, sudah nyaris tidak tersisa apa-apa lagi di dalamnya. Ia sudah cukup
bahagia luar biasa hari ini.
Cinta adalah permainan. Dan pemenangnya, kurasa, adalah aku,
yang perempuan berbahagia karena memuaskan lelakiku.
Untuk sekarang. Besok…kurasa Bob mempunyai kejutan pula.
Siapa tahu?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar