Lima hari kemudian…
Jaman sekarang, orang tidak lagi bisa berlama-lama berbulan madu. Apalagi untuk pegawai yang belum lama bekerja, cuti paling lama hanya tiga hari saja. Padahal, rasanya masih belum puas bereksplorasi dengan tubuh dan jiwa, karena vaginaku masih sakit setelah dimasuki di malam pertama itu.
Jadi, selama cuti, suamiku lebih banyak dilayani oleh mulut dan lidahku — setiap malam aku menjilat batang lelaki yang keras dan tegang, menikmati setiap lekukan kepalanya yang licin memerah mengkilat, merasakan asinnya mani yang menetes, seperti madu yang asin. Setelah kepalanya, aku lalu turun hingga ke buah pelirnya, lalu naik lagi, dan menghisap dalam-dalam.
Ya, aku bersetubuh dengan merasakan penis itu menyentuh bagian dalam rongga mulutku, sementara lidahku berputar-putar di kepalanya. Setelah beberapa kali hisapan, Hansen menegang. Mengejang. Menyembur. Dengan gelagapan, aku berusaha menelan semua mani yang ia keluarkan. Membuat apa yang keluar darinya menjadi bagianku, milikku. Diriku.
Sementara suamiku terkulai kelelahan, aku pun tertidur juga dalam pelukannya. Aku belum mengijinkannya menyentuh bibir kemaluanku, sebab rasanya masih perih kalau tersentuh. Entah apa yang salah: barangkali memang penis Hansen terlalu besar. Atau memekku yang terlalu sempit.
Namun, setelah lima hari, aku tidak lagi merasa sakit. Sebaliknya, aku merasa gatal. Ketika mandi sore-sore — sekitar jam 4 — rasanya enak sekali jika bibir bawahku disentuh, itilnya digosok, dan aku hampir orgasme ketika memasukkan jari tengahku ke liang perempuan yang sempit dan hangat. Ah, seandainya saja bukan jari tengah, tetapi penis yang kekar berurat besar itu yang menerobos masuk.
Jadi, setelah aku selesai mandi, aku tidak segera berpakaian. Aku menikmati tubuhku yang molek di kaca besar, yang menempel pada lemariku yang baru. Bukankah tetekku ini bulat dan kencang? Dan aku mempunyai pinggang yang ramping, sementara pinggul dan pantatku membulat. Model jam pasir, kata Meika — adik Hansen. Dia sangat senang karena berhasil merekam adegan demi adegan malam pertama kami. Tubuh yang terpampang di cermin ini bukan lagi tubuh seorang gadis; bukan. Ini adalah tubuh seorang perempuan dewasa muda, yang sudah terbuka oleh penis laki-laki.
Hari ini, lima hari setelah malam pertamaku, aku menginginkannya lagi. Lagipula inilah masa suburku, ketika lendir cinta di vaginaku terasa licin, terasa gatal. Ah, tapi suamiku belum pulang. Biasanya ia baru sampai jam enam sore, atau jam tujuh kalau macet. Aku masih sempat memasak sesuatu untuknya.
Aku beranjak ke dapur. Tidak berpakaian, hanya memakai sendal saja. Di dapur, aku mengambil celemek bersih dari laci dan memakainya. Aku pun mulai memasak, hobi yang baru kujalani sekitar setahun terakhir ini. Aktivitas yang terasa semakin menggairahkan, karena resep peningkat stamina dan gairah birahi, yang terasa eksotik dengan campuran kapulaga dan jintan, daun jeruk dan banyak ketumbar, serta daging has yang lunak setelah diberi tumbukan daun pepaya. Aku membayangkan bagaimana Hansen menjadi bergairah, dan malam ini aku akan menjadi budak seksnya yang siap menerima apa pun juga perintahnya.
Uh, memekku sudah basah, hanya membayangkannya saja. Gesekan kain celemek yang kasar itu terasa amat merangsang, barangkali aku bisa orgasme. Tapi tidak, aku harus menanti. Rugi sekali kalau orgasme hanya oleh celemek — walaupun tentu saja aku bisa orgasme beberapa kali. Masalahnya, tiap kali orgasme akan terasa lebih sensitif, sehingga kalau orgasme sekarang maka nanti akan terasa geli luar biasa kalau disentuh penis suami. Nantilah.
Sesaat setelah aku selesai memasak, suamiku pulang. Mungkin ada hubungan batin ya, karena ia hari ini pulang lebih cepat dari biasanya.
"Halo sayang," kata Hansen. Ia menciumku. Tatapannya membelalak ketika menyadari bahwa aku hanya memakai celemek, sambil berlepotan kecap dan minyak. "Di, masak apa?"
"Enak deh. Ayo, mandi dulu. Lapar ‘kan? Kita terus makan kalau sudah wangi."
"Okeh… masaknya sudah beres?"
"Sedikit lagi. Sayang, kalau sudah selesai mandi, hidangannya istimewa deh."
Suamiku tersenyum lebar, lantas bergegas membuka sepatu dan baju, menyambar handuk, dan sejenak kemudian terdengar air tercurah di kamar mandi. Mau tidak mau aku senyum-senyum sendiri, lalu menata meja makan kami berdua. Enaknya hidup berdua! Aku menyalakan lilin di atas meja, melengkapi suasana romantis.
Ketika suamiku selesai, ia juga tidak memakai apa-apa.
"Ayo makan," katanya senang. Aku mencium wangi sabun wajahnya. Mint. Macho. Celemekku kubuka, kusimpan di dapur. Bertelanjang, aku duduk di meja makan. Hansen menatap dadaku — puting susu yang mengeras. Aku benar-benar terangsang. Juga lapar.
Hansen mematikan lampu, sehingga hanya lilin saja yang menerangi makanan, dan wajah, serta tubuh-tubuh telanjang. Ia nampak begitu gagah, begitu perkasa. Aku menikmati lekuk dadanya yang bidang, bahunya yang kekar, yang berwarna kuning kemerahan ditimpa cahaya lilin-lilin — ada sembilan buah yang kunyalakan tadi. Kami makan dengan perlahan, menikmati setiap suapan, tanpa suara. Hanya mata kami saling memandang, dan aku menyukai tatapan mata Hansen ke kedua tetekku yang terasa tegang. Keras.
Aku membayangkan, betapa keras batang kemaluan suamiku. Biasanya aku melahapnya dengan bibir mulutku, tetapi kali ini yang akan melahapnya adalah bibir memekku. Mengingat itu saja, memekku menjadi semakin basah. Klitorisnya membesar, mengeras.
"Enak, sayang?"
"Mmm… enak banget!"
"Masih ada dessertnya lho."
Aku mengeluarkan salad dingin. Udang rebus. Strawberry. Mayonaisse. Whip Cream.
"Tapi makannya nggak di sini. Di depan TV aja, ya? Yuk," ajakku sambil membawa sebaki makanan itu ke dalam. Aku tahu suamiku terpana melihat tubuh telanjang istrinya berlenggok –sengaja aku memainkan pantatku– sehingga ia tidak segera beranjak dari duduknya. Di ruang keluarga, aku kembali menyalakan lilin-lilin, lantas mematikan lampu. Aku lalu berbaring di sana, di atas sofa yang bisa dibuka menjadi ranjang kecil.
"Mmm… sayang, kamu cantik sekali," kata Hansen. Ia kehabisan kata-kata, aku melihat ujung penisnya yang keras telah mulai meneteskan cairannya. Kami berciuman. Lidah-lidah berpagutan, sampai aku terengah-engah. Sangat, sangat terangsang.
"Ini sayang, dessertnya." Aku menaruh udang di tengah-tengah dadaku. Strawberry di pusarku. Lalu mayonaisse memanjang dari dada hingga pinggang, sedikit di atas rambut kemaluan. Whip cream aku taruh di ujung kedua puting. Hansen tersenyum. Aku memejamkan mata.
Rasanya seperti disengat listrik, tapi bukan sakit melainkan nikmat sekali, ketika Hansen memulai dengan kedua putingku, membersihkan whip cream dengan lidahnya. Ia lalu beranjak ke tengah, menikmati udang dan mayonaissenya. Satu. Dua. Tiga. Sejenak Hansen kembali ke ujung-ujung buah dadaku yang mengeras, membuatku tersengat. Sangat nikmat, sampai sesak nafas rasanya.
Ketika Hansen turun ke bawah, aku memejamkan mataku semakin erat. Mulutku terbuka, berusaha menarik lebih banyak udara. Aku menahan nafas, ketika Hansen menggigit strawberrynya, lalu turun lagi… terus hingga ke selangkangan. Tanganku mengambil sebutir strawberry lagi, lalu meletakkannya di antara belahan bibir memekku yang basah. Strawberry itu tertahan di sana, terjepit. Aku mengangkang lebar-lebar, mengangkat kedua kakiku ke udara.
"Diana…" Hansen mendesah. Aku sampai menjerit kecil ketika lidahnya menyapu kemaluanku, giginya menarik strawberry itu dari tempatnya. Ia kemudian meneruskan dengan jilatan lidahnya di klitoris, di bibir luar, bibir dalam. Membuatku terasa gatal, ingin digaruk. Bukan oleh tangan. Oleh penisnya.
Hansen pun rupanya berpikiran sama.
"Sayang, boleh dimasukin?"
"Iya, sayang… aku milikmu. Lakukan apa saja sesukamu."
Hansen mengambil bantal sofa, lalu mengganjal pantatku. Ia mengangkat kedua kakiku ke atas, mencium betisku. Ujung penisnya diarahkan ke bibir kemaluan, kepalanya terasa menggesek di celah yang sempit itu. Ayolah, aku menanti. Terobos! Masuk!
"Ahhhhh…. ooouuuhhhh…." Aku tak dapat menahan suaraku, ketika kepala penisnya benar-benar menerobos masuk. Tapi, kali ini sama sekali tidak sakit, sebaliknya enak sekali. Masuk semua. Lalu Hansen menariknya lagi. Ia menurunkan wajahnya, menciumi bibir dan leherku. Lalu penisnya menghujam lagi. Ditarik. Dihujamkan lagi.
"AAAHHHHH…… HAAANNNSEEENNNN……!!!"
Aku melayang-layang. Baru sekarang aku tahu enaknya disetubuhi, dientoti, dipompa oleh suami. Otot-otot vaginaku berkontraksi, dan dalam beberapa detik aku mencapai orgasmeku. Tetapi Hansen masih terus menggenjot, sementara vaginaku berkedut-kedut dalam orgasme yang tiada habisnya. Tiada taranya. Aku tersiksa oleh kenikmatan yang tidak pernah terbayangkan. Sampai….
Sampai akhirnya Hansen juga mendengus, lantas menghujamkan penisnya kuat-kuat, sehingga tubuhnya menekanku sepenuhnya. Aku merasakan denyutan keras di bawah, di dalam, semburan benih-benih di rahimku. Ya, semaikanlah! Tanamkan dalam-dalam! Aku bahagia. Akulah istrinya.
Selintas, terbayang bahwa aku sedang sangat subur, dan mungkin akan segera hamil. Tak apa, aku bahagia jadi ibu. Aku menikmati kedutan-kedutan Hansen di atasku, merasakan semburan maninya hangat, banyak, tak tertampung sehingga sebagian mengalir keluar.
Aku melirik jam. Ah, tak sampai 15 menit rupanya. Kami sudah amat terangsang. Tapi, ini baru permulaan.
"Enak, sayang?"
"He eh. Banget."
"Masih mau lagi?" Aku menyemprotkan lagi whip cream di putingku. Hansen menunduk, lalu mulai menjilat dan menghisap kedua tetekku, bergantian. Tangannya meraba-raba seluruh tubuhku, mulai dari bahu, lalu turun kepinggang, ke pantat, mengelus pahaku. Sejenak berhenti di selangkangan. Ah, banyak lendirnya. Lengket.
Aku mengambil tissue, mengelap vaginaku sampai bersih. Masih sangat sensitif, jadi kulakukan perlahan-lahan. Setelah bersih, aku mengambil lagi whip cream, lalu menyemprotnya persis di klitorisku. Mengetahui ini, Hansen lalu meninggalkan kedua puting, lantas turun ke selangkangan dan menikmati klitoris yang putih berbusa.
Aku menggelinjang-gelinjang, birahiku langsung naik lagi sampai ke ubun-ubun. Hansen membantu dengan jari-jari tangan yang dimasukkan, keluar, masuk lagi… tadinya hanya satu jari, lalu menjadi dua. Merenggangkanku. Mengangkatku ke langit. Dan tiba-tiba, Hansen berhenti. Ia naik ke atas, lalu penisnya –yang ternyata sudah keras kembali– sekali lagi menerobos masuk. Kali ini tidak terlalu sempit.
"Menungging dong." Kata Hansen. Dengan patuh, aku menurut. Aku menungging, doggy style, dan pantatku merekah terbuka. Hansen memasukkan lagi batang yang perkasa, mungkin makanan penambah tenaga itu benar-benar bekerja. Ia memompa, membuatku melayang-layang, karena setiap kali penisnya menyentuh satu titik, g-spot milikku. Lebih enak daripada rangsangan di klitoris.
Suara peraduan tubuh kami terdengar keras, "prep! prep! prep!" Seirama gerakan suamiku dari belakang. Aku tidak dapat bertahan lama, karena orgasmeku seperti meledak tak tertahankan. Tanganku tak kuat menahan, sehingga aku ambruk di atas ranjang kecil itu. Untungnya, Hansen pun kembali berejakulasi, kini dengan lebih sedikit cairan.
Setelah ia mencabut penisnya, kami berdua terguling kelelahan. Aku tersenyum lebar, betapa nikmatnya kawin! Hanya dengan kawin secara sah, orang bisa menikmati saat di mana ia paling subur, tanpa pembatas seperti kondom-kondom berulir itu, dan sama sekali tidak takut hamil. Sebaliknya, berharap-harap!
Dan aku tahu, ini awal yang baik. Aku cinta suamiku. Biarlah benihnya tumbuh di dalam diriku!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar