Bloggroll

Minggu, 25 Desember 2011

Malam Pertama

Tamu terakhir sudah pulang. Tak lama kemudian, orang tua kami pun pulang. Tinggal aku, Hansen, dan Meika, dan jam dinding menunjukkan pukul sepuluh lebih sepuluh. Aku duduk di sofa, di kursi panjangnya. Hansen duduk di hadapanku. Dan Meika sibuk mengunci pagar, mengunci pintu dan jendela, dan memastikan semua tirai jendela sudah tertutup rapat.
Tak lama kemudian, Meika kembali ke ruang tengah tempat kami berada. Dia memakai setelan hitam-hitam yang longgar, di tangannya sebuah handycam sudah terisi dan menyala. Meika sudah siap. Hansen kelihatannya masih grogi. Aku belum siap.
Ketika semua sudah pulang, di saat kami telah sah menjadi suami istri dan boleh melakukan hubungan yang senantiasa ditunggu-tunggu, pula sudah mengenakan pakaian pengantin yang paling seksi bagi suami tercinta, aku ternyata sama sekali tidak siap. Tanganku berkeringat dingin. Rasanya, seluruh pori tubuhku terbuka, dan aku menjadi begitu peka.
"Di," kata Hansen dengan lembut. Sentuhan tangannya di bahuku terasa seperti sumber kehangatan yang mengusir tubuhku yang menggigil. Aku hanya bisa memandang wajahnya, dan di situ aku menemukan wajah yang tampan. Gagah. Suamiku.
Oh ya, Hansen adalah suamiku. Aku ini miliknya.
Dan aku adalah istri yang beruntung, karena mungkin Hansen adalah pria yang paling lembut, a real gentleman, yang pernah aku kenal. Dia tidak asal terjang, walaupun aku tahu dia sangat menanti-nantikan saat ini. Aku tahu penisnya sudah mengeras sejak tadi, sudah siap memasuki celah sempit yang tidak pernah dilalui orang sebelumnya. Aku tahu, dia sudah sangat ingin masuk dalam diriku. Tapi dia masih begitu lembut, begitu sabar.
Hansen menciumku dengan lembut di kening, lalu di pipi. Lalu ia mencium bibirku. Sentuhan lidahnya dibibirku cukup untuk menyalakan api di seluruh tubuhku, tiba-tiba aku terlontar dalam gairah birahi yang menyala-nyala. Kami berciuman dengan bernafsu, lidah membelit lidah, dan aku merangkulkan tanganku di leher dan kepalanya, menginginkan ciumannya lagi dan lagi.
Saat itu, untuk pertama kalinya, aku sepenuhnya pasrah di tangan suamiku. Ketika Hansen ingin mencium leherku yang putih dan jenjang, aku memberikannya. Aku memberikan tangannya yang satu meremas dadaku, sedang yang lain menyelinap ke bawah, ke belahan gaunku. Aku pasrah ketika Hansen menemukan belahan pantatku, dan terkejut ketika mendapati bahwa aku tidak memakai apa-apa lagi, tak ada celana dalam di sana. Dan aku pasrah ketika ia meremas pantatku sambil menggeserkan tangannya ke tengah, ke antara bibir memekku yang sudah basah.
Biasanya, aku merasa agak kagok, kurang nyaman bila Hansen menyentuh memekku. Tetapi kali ini aku bukan saja pasrah, malah aku menginginkannya. Aku ingin ia meremas bibir vagina itu, memasukkan jari jemarinya. Memasukkan penisnya. Sudah lama aku menunggu saat ini, sekaranglah waktunya. Tetapi, Hansen masih amat sabar, ia hanya mengajakku berdiri dari kursi agar kami bisa berpelukan dan berciuman dan saling merangkul dan meremas.
Yang pertama dibuka oleh Hansen adalah tiaraku, serta seluruh jepit rambutnya. Rambutku tergerai bebas, sebebas hatiku. Yes! Aku sudah jadi istrinya. Suamiku boleh menelanjangiku, mengangkangiku, merobek selaput daraku — karena aku bukan lagi seorang dara. Aku seorang istri! Hansen boleh melakukan apa saja yang ia mau, bahkan aku menginginkannya, agar ia bisa menikmati lekak lekuk tubuhku yang bertahun-tahun kujaga dan kurawat baik-baik. Aku ingin ia menghirup wangi tubuhku.
Maka aku membuka semua yang tersisa melekat pada diriku.
"Di, sayangku, engkau cantik sekali…" Ah, betapa melayang rasanya mendengar kata-kata pujian dari suamiku. Aku memberi senyumku yang termanis padanya, sambil menariknya ke kamar pengantin. Kamar pengantin KAMI. Melakukan apa yang sudah begitu lama ingin kulakukan, memberikan apa yang sudah lama ingin kuberikan.
Di kamar itu, tiba-tiba saja ada nyala lampu yang terang. Lampu video. Aku dan Hansen begitu asyik bercumbu, sehingga melupakan Meika yang setia merekam setiap adegan kami dengan kameranya. Tetapi, karena kamar pengantin lebih gelap daripada ruang depan, ia menyalakan lampu.
Apakah aku malu? Tidak. Tiba-tiba saja, aku malah ingin menjadi bintang dalam peristiwa istimewa kami. Aku ingin menjadi pemeran utama dalam malam pertama kami, bukan sebagai istri yang pasrah, melainkan menjadi istri yang memberi kenikmatan pada suami. Kalau perlu, aku siap menjadi budak seks Hansen — dia boleh melakukan apa saja, meminta apa saja. Tetapi, aku harus memberitahukannya.
"Suamiku sayang… malam ini aku milikmu… aku budakmu… aku akan melakukan apa saja yang kau mau, sayang…"
Hansen tersenyum. "Bukakan bajuku," katanya. Aku melakukannya dengan patuh. Tubuhku yang telanjang menggeliat-geliat, seperti seekor kucing, disekitar tubuh Hansen, sambil perlahan-lahan membuka jas, lalu dasi, lalu kemeja. Lalu celana. Lalu pakaian dalam.
Aku memakai gigiku untuk membuka celana dalam Hansen. Penisnya mengeras, ujungnya mengkilap dengan lendir yang bening. Aku menjilat kepalanya, merasakan lendirnya di mulutku yang mungil. Kemudian, dengan lembut aku mengulum kepala penis Hansen yang keras sekali, juga besar sekali. Entah mengapa, aku merasa penisnya lebih besar daripada sebelumnya, sewaktu kami masih pacaran dan saling meraba dan membuat ejakulasi.
Selama kami pacaran, aku belum pernah melakukan oral pada Hansen. Dia pernah meminta, tetapi aku ragu, juga takut. Tapi kini aku mau melakukannya, bahkan aku merasa nikmat melakukannya, apalagi Hansen meremas-remas rambutku dan mencium wanginya. Aku memasukkan batang penis yang besar itu ke dalam mulutku, hingga ujungnya menyentuh dinding belakang tenggorokan. Supaya tidak tersedak, aku merapatkan bibirku, lalu menghisap. Menyedot dengan segenap kekuatanku.
"Ohhh… Di… Di… aku… tidak… tahan…" Hansen mengeluh. Aku merasakan kedutan-kedutan di penisnya yang mengejang. Keras. Dan menyembur kuat, aku merasakan maninya memenuhi mulutku. Aku menelannya semua, merasakan gurihnya, agak asin dan pahit, tetapi rasanya enak sekali. Entah berapa kali Hansen ejakulasi di dalam mulutku, tetapi rasanya tidak begitu banyak.
"Ohh… istriku sayang… kamu hebat sekali, Di…" Ahh… rasanya aku mau orgasme mendengar kata-kata Hansen. Sambil tersenyum, aku bangkit, melap wajah dan mulutku. Hansen menarikku, lantas mencium bibirku. Ahh… sungguh pria yang gentleman, dia tidak ragu menghisap mulutku, berciuman kuat-kuat, walaupun mungkin mulutku masih menyisakan maninya. Dari ciuman di mulutku, Hansen menelentangkan tubuhku di ranjang pengantin kami. Ia lalu menyelusuri leher, bahu.
Hansen menemukan mainannya di kedua tetekku yang sudah mengeras putingnya, dan setiap hisapan pada ujung yang merah kecoklatan itu membuatku terasa kena strum. Enaknya luar biasa, hingga aku merasa tersiksa, tetapi aku ini budaknya. Suamiku boleh memainkanku sekehendak hatinya, sementara aku merasakan bahwa penisnya tidak melemah, sebaliknya mengeras kembali. (belakangan aku baru tahu, Hansen sudah minum obat kuat)
Suamiku tidak berhenti pada tetekku yang merah terkena gigitan dan hisapannya. Ia memakai kedua tangannya meneruskan meremas tetekku, sementara wajahnya melorot ke bawah. Ke perut. Ke pusar. Ke memekku, yang untuk kesempatan ini sengaja kucukur bersih, karena Hansen dulu pernah bilang ia menyukai memek yang tidak banyak bulu. Hansen mencium kelentitku, menghisapnya dengan lembut dan membuatku serasa terlempar ke langit-langit kenikmatan.
Secara refleks, aku ingin merapatkan kaki, tetapi aku lebih ingin mengangkang selebar-lebarnya, agar Hansen bisa melihat memek istrinya, melihat keperawananku. Setelah menciumi bibir memekku hingga warnanya merah dadu, Hansen merenggangkan memekku dengan jari-jarinya. Meika mengambil gambar close-up dari vaginaku, dan lubangnya yang kecil di antara selaput dara yang masih ada di sana. Hansen menjilat bibir memekku, dan sekali lagi membuatku nyaris orgasme. OOhhh… sampai kapan Hansen akan menyiksaku dengan kenikmatan ini?
Aku tidak perlu menunggu lama, karena segera sesudah melihat memekku, Hansen sendiri menjadi tidak sabar lagi. Ia naik ke atasku, mengangkat pantatku. Kedua kakiku ku buka selebar-lebarnya mengangkang, hingga memekku terbuka lebar baginya. Hansen menatapku lekat-lekat.
"Inilah saatnya Di, istriku sayang… tahan ya, mungkin agak sakit."
"Nggak apa-apa sayang… aku ingin kamu masuk. Aku ingin kamu enak… Ambillah apa yang jadi milikmu, sayang…"
Hansen menggeserkan batang kemaluannya di antara bibir-bibir memekku yang sudah merekah basah. Ia mendorong sedikit. Kepalanya terjepit di antara bibir luar memekku, rasanya besar sekali. Kalian tahu nggak, bahwa saat pertama ini selalu istimewa bagi seorang gadis. Aku selama ini membayangkannya, selama ini mendambakannya, tetapi ketika batang kemaluan Hansen benar-benar ada di bibir memekku, aku merasa akan memberikan sesuatu yang amat penting dan berharga.
Dan ketika Hansen mendorong masuk, tiba-tiba saja aku merasa sangat bahagia ketika merasakan sakit, karena kepala penis yang besar itu untuk pertama kalinya menerobos masuk, merobek selaput daraku. Hansen melakukannya dengan perlahan, tetapi toh tidak menghilangkan rasa sakitnya, sehingga aku menjerit.
"Aaaaahhhhhhwwww…"
"Di…. sakit sekali?"
"Enggak apa-apa sayang…. ohhh….yuaaahh… ambillah sayang… masukkan dirimu dalam-dalam…."
Hansen menekan seluruh penisnya ke dalam rongga vaginaku, hingga masuk semua. Darah mulai mengalir keluar dari vaginaku, membasahi sprei yang putih. Darah perawan. Aku merasa penuh, merasa lengkap. Aku telah memberi, suamiku telah mengambilnya dan menyimpannya. Suamiku masuk ke bagian yang paling pribadi, paling intim dalam diriku, dan saat inilah aku tahu mengapa orang mengatakan hubungan seks itu adalah suatu persetubuhan. Karena saat itu, aku merasa menjadi satu tubuh dengannya, ketika darahku tercampur dengan lendirnya. Dan menjadi lengkap, ketika beberapa detik kemudian Hansen memuntahkan maninya di dalamku, mengisi liang memekku dengan spermanya.
Aku merangkul Hansen kuat-kuat, menangis karena bahagia. Tanganku memeluk tubuhnya, kakiku menjepit pinggangnya, memastikan bahwa penisnya terbenam sedalam-dalamnya, berdenyut-denyut di liang memekku yang masih sempit, dan memberinya kenikmatan yang luar biasa.
Apakah aku orgasme? Tidak. Kalau kalian terlalu banyak membaca cerita porno, atau melihat film bokep, mungkin kalian akan berpikir bahwa seorang gadis yang diperawani dapat langsung orgasme. Tidak betul itu, karena sebenarnya terasa perih, apalagi jika penis itu bergesekan. Yang paling nikmat bukan seksnya, melainkan perasaan menjadi seorang wanita yang memberi diri pada pria.
Kupikir, itulah sebabnya orang harus berhubungan seks hanya setelah menikah, atau hanya dengan satu pasangan istimewa seumur hidupnya. Betapa kasihannya gadis-gadis yang begitu saja kehilangan keperawanannya, mereka kehilangan saat-saat indah ini, digantikan oleh pengejaran nafsu yang tidak terkendali dari cowok-cowok yang tidak bertanggung jawab. Kukatakan sekarang: seks itu enak, tetapi malam pertama itu sakit dan perih, karena memang ada luka. Dan bohong kalau dikatakan bahwa ada rasa sakit yang nikmat, kecuali kamu adalah pengidap kelainan seks.
Jadi, setelah Hansen mengejang beberapa kali, akhirnya perlahan-lahan ia mencabut penisnya yang mulai menjadi loyo setelah berturut-turut ejakulasi dua kali, dengan bibir atas dan bibir bawahku. Hebat ya, suamiku ini? Kami duduk, kami berangkulan, dan kami tersenyum-senyum melihat sprei yang bernoda darah dan lendir mani. Aku menyimpan sprei ini, menjadi tanda cinta kasih kami, suami istri yang berbahagia.
Itulah malam pertamaku; tidak banyak seks, lebih banyak ciuman dan cumbuan dan kami tidur karena kelelahan. Aktifitas seks baru dapat aku nikmat seminggu kemudian, tetapi lain kali saja kuceritakan, ok?
Pesanku: jangan berhubungan seks (apalagi jika kamu seorang gadis!) sebelum kamu menikah. Atau kalau kamu benar-benar tidak tahan lagi, yakinkanlah bahwa orang yang berhubungan seks denganmu adalah orang yang akan menikah denganmu dan hidup menemanimu sampai mati.
Bener lho!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar