Bloggroll

Minggu, 25 Desember 2011

Meika

Waktu itu adalah satu hari setelah ujian SMU terakhir selesai. Aku masih berseragam abu-abu, merasa puas. Setidaknya aku sudah mengerjakan semua yang aku bisa kerjakan, dan perasaanku mengatakan bahwa aku telah mengerjakannya dengan benar. Beban terakhir sudah berlalu. Tak bisa aku menahan senyum lega, jadi aku menggandeng Meika, berjalan dengan lega melalui kantin yang sepi, karena hari itu kelas-kelas 1 dan 2 libur.
Tetapi, sekosong-kosongnya kantin, masih ada beberapa anak di sana sini. Cowok. Dan mereka menatapku… tiba-tiba saja aku merasa hariku tidak secerah tadi. Mengapa mereka tidak menatap Meika? Bukankah dia yang cantik di sebelahku? Rambutnya yang shaggy, dengan rok yang lebih pendek dariku, dengan kancing baju paling atas terbuka, menunjukkan kulit yang putih bersih. Bukankah ia cantik sekali? Lihat hidungnya. Lihat matanya. Dan lihat bibirnya yang merah muda, menutupi giginya yang berderet putih. Anak SMU yang cantik bergandeng di sisiku. Tapi, kenapa mereka justru memandang padaku?
"Ka, cowok-cowok itu ngapain sih?" setelah kami berlalu dari lorong kantin yang menjemukan itu. Tiba-tiba saja aku merasa bete.
Tapi, kali ini sohibku itu tidak menolong, malah senyum-senyum kecil. Ia memandangiku. "Nanti," katanya, "kita kan punya banyak waktu. Kamu masih di tempatku ‘kan?"
Ya, tiga hari terakhir memang aku menginap di rumah Meika. Bukan apa-apa, aku mau belajar dengan baik. Di rumah ada dua orang adikku yang selalu ribut, lagipula ibu cenderung menyuruhku setiap kali ada kesempatan. Aku yang mau ujian, harus konsentrasi, juga harus istirahat. Tidak mungkin konsentrasi terus menerus. Dan kalau aku setiap kali istirahat disuruh membantu mencuci baju, kapan aku istirahatnya? Jadi, aku minta ijin untuk menginap di rumah Meika, yang senantiasa sepi. Apalagi hari-hari ini, karena ada sepupu Meika yang menikah di kota lain, jadi Hansen dan kedua orang tuanya pergi ke sana selama empat atau lima hari. Mereka berangkat tiga hari yang lalu, jadi paling cepat akan pulang besok sore, atau lusa pagi. Selama mereka pergi, aku menemani Meika belajar. Belajar, dan belajar.
Tapi hari ini ujian sudah selesai, dan aku berjanji untuk tetap menemani Meika di rumah sampai orang tuanya pulang.
Sesampainya kami di rumah, Meika sudah buru-buru ke kulkas dan mengambil sebotol air es. Ia menempelkannya di dahi. Lalu di pipi. Lalu di dadanya. Embun dari botol yang dingin membasahi bajunya di bagian dada. Memang anak ini agak aneh.
"Jadi, kenapa Ka? Kok misterius amat sih?"
"Iya lah, terang aja mereka ngeliatin elu. Kamu cantik sih."
"Ah, macam-macam aja. Sejak kapan aku cantik. Justru kamu yang cantik, Ka. Aku heran mereka tidak ngeliatin kamu."
"Gua sih… manis Di. Tapi mana bisa dibandingkan ama kecantikan putri Diana?"
"Jangan ngegodain sekarang ah. Masih panas nih."
"Siapa yang godain? Ngaca lagi sana! Coba, itu rambut hitam lurus panjang begitu, siapa yang gak ketarik? Dan kamu kulitnya halus, Di, gak ada jerawatnya. Putih lagi. Mata kamu gede, indah. Kamu mancung, turunan dari nenek kamu yang dari Belanda yah? Dan bibir kamu manis sekali."
"Meika, ngawur ah!"
"Siapa yang ngawur? Lagipula lihat gua, tetek gua kecil Di, anak kelas satu aja ada yang lebih gede dari ini. Gua mau sumpal, tapi susahnya gua suka beha yang kaos. Tapi lihat tetek elu. Astaga Di, masak kamu nggak sadar?"
"Tapi Ka, justru aku suka malu dengan tetekku."
"Ah, kamu sih nyari buku melulu! Justru, Diana sayang, tetek yang kayak kamu itu yang jadi idaman gue dari dulu. Bulat. Besar. Mancung. Kemari," dan Meika lantas menarikku ke kamarnya. Di sana ada cermin besar. Ia lantas mengunci pintu, lalu mengajakku ke depan cermin itu.
"Nih Di, lihat deh tetek gua." Meika lantas membuka baju seragamnya, juga membuka beha kaosnya yang berwarna abu-abu muda. Ia menunjukkan dadanya yang memang kecil, walau putingnya nampak menonjol dan berwarna merah kecoklatan. "Nah, coba buka baju elu, kita lihat deh." Tanpa bertanya lagi, Meika lantas membuka kancing bajuku.
Terpesona, aku membiarkan saja ia membuka baju seragamku. Juga membuka behaku yang ukurannya 34C. Belum besar, belum pakai cup ukuran D. Tapi memang lebih besar daripada punyanya sendiri.
"Ck ck ck… Diana, elu punya dada yang sempurna. Gimana elu bisa merasa malu?"
"Aku… nggak tahu, Ka. Aku nggak mau menarik perhatian cowok karena dadaku. Rasanya, aku jadi cewek murahan."
"Elu macam-macam aja mikirnya. Justru, elu jadi cewek idaman banyak cowok. Dan dada ini, mungkin mereka udah pada mimpi basah membayangkan bisa menyentuh, meremas, dan mencium."
"Gila ah!"
"Elu nggak tahu, Di. Gua kasih tau satu rahasia nih… tapi elu jangan marah ya?" Aku mengangguk, menatapnya serius. "Kak Hansen udah lama mengidolakan elu, tapi dia gak berani. Berapa kali gua liat dia menelan ludah memandangi dada elu. Mungkin, kalo elu kasih ijin, dia udah dari kemarin nyedot tetek elu."
"Ka, jangan ngomong gitu ah." Tapi, entah kenapa, dalam diriku terasa darah berdesir aneh. Aku memandang ke cermin, membayangkan di situ ada Hansen. Ia sedang memelukku dengan mesra, hati-hati dan lembut. Wajahnya yang tampan itu berada di antara belahan dadaku, menjilat keringat yang ada di situ. Tangannya yang satu memelintir putingku…. Dan tanpa kusadari, kedua puting susuku menjadi mengeras.
"Di, elu nggak tahu aja. Jangankan Hansen, gua aja sekarang…rasanya ingin bisa menyentuh dada elu. Kelihatannya menarik sekali, Di."
"Meika…" Tapi entah kenapa aku tersenyum dan mengangguk. Dan entah mengapa pula, tahu-tahu Meika sudah mencium pipiku, lalu leherku, lalu ia mencium belahan dadaku. Aku memejamkan mata. Kedua tangan kami tahu-tahu sudah bekerja sendiri, saling meraba bahu, lalu pundak, lalu meraba susu. Aku menyentuh puting susu Meika yang sudah mengeras. Meika menyentuh kedua bulatan susuku, meremasnya.
Tahu-tahu pula, Meika mencium puting susuku yang sebelah kanan, lalu ia memasukkannya ke dalam mulutnya. Aku memejamkan mata, merasakan desiran aneh itu semakin kuat menghanyutkan. Tanpa sadar, aku memegang kepala Meika dengan sebelah tangan, menekannya ke dadaku. Sebelah tanganku yang lain memegang punggung Meika. Dan aku tidak sadar, bagaimana Meika sudah memegang kedua belahan pantatku, memasukkan tangannya dari bawah rok. Aku merasa melayang, menikmati ciuman Meika yang bertubi-tubi pada kedua tetekku, menyedot, meremas, menjilat, mencium dengan cara yang mungkin hanya diketahui oleh seorang wanita. Mencium dengan cara yang menyenangkan, dan amat merangsang.
Tahu-tahu lagi, aku sudah tidak lagi memakai rok abu-abu. Bahkan celana dalamku telah melorot sampai di pangkal paha. Tiba-tiba aku menjadi takut. Apa yang sedang kulakukan ini? Tetapi semuanya terasa begitu enak, begitu cocok. Rasanya memang seharusnya dari dulu seperti ini, tetapi tidak boleh begini. Meika perempuan. Aku perempuan. Apakah kami menjadi lesbian?
"Ka…ohhh… Ka… stop Ka. Stop Ka. STOP KA!"
Meika berhenti. Pipinya merah dadu karena berahi.
"Jangan… jangan diterusin Ka. Aku… aku nggak bisa Ka." Jelas, bahwa aku juga dikuasai berahi.
"so..sori Di. Gua juga… gua juga lupa diri. Ohhh… tapi rasanya enak. Gua mesti lepasin Di…"
Tanpa menunggu waktu lagi, Meika melorotkan rok dan celana dalamnya. Telanjang bulat, ia naik ke atas ranjang. Berbaring dengan guling diletakkan di bawah pantatnya. Ia lantas memejamkan mata, dan mengangkangkan kakinya, kedua pahanya yang putih itu berkeringat. Kemaluannya sudah ditumbuhi rambut tipis, ikal kemerahan. Dan aku melihat bibir kemaluannya merekah, merah. Di atasnya ada sesuatu yang menonjol keluar, itulah clitorisnya. Meika membasahi jari-jarinya dengan ludah, lantas mulai menggosok bibir kemaluan dan clitorisnya sendiri.
Aku pun melepaskan celana dalamku yang sudah melorot sedikit, lantas berbaring di kasur ekstra di lantai di sisi ranjang Meika. Inilah kasur yang selama ini aku pakai tidur di rumah Meika. Aku meniru perbuatan Meika, dan merasakan ada gelombang-gelombang dahsyat setiap kali menyentuh bibir dan clitorisku yang semakin basah berlendir karena cairan vaginaku sendiri. Kini aku tidak lagi takut gelombang-gelombang itu, malah aku menginginkannya. Lebih lagi. Lebih lagi. Lebih cepat, lebih keras. Lebih cepat, lebih keras.
Dan tiba-tiba badanku seperti terlempar tinggi ke angkasa. Seluruh tubuhku mengejang, vaginaku serasa meledak. Aku untuk pertama kalinya merasakan hebatnya orgasme, tak dapat lagi menahan diri menghentak-hentak, melengkungkan punggung dan membiarkan seluruh otot di tubuhku berkontraksi. Bahkan, untuk sesaat aku menahan nafas kuat-kuat.
Gila, aku dan Meika baru saja bermasturbasi. Tapi rasanya benar, memang harus begini. Dari dulu.
Tapi saat itu aku berjanji dalam hati untuk tidak mengulanginya lagi. Tidak lagi bermasturbasi.
Inilah janji yang, mungkin kalian sudah bisa duga, sudah kulanggar lagi hanya dalam waktu beberapa hari sesudahnya. Dan menjadi rutinitas sesudahnya, terutama dalam masa-masa antara dua minggu setelah menstruasi. Saat di mana lendir vaginaku paling banyak dan klitorisku paling besar dan peka. Bukan hanya sekali, aku bisa masturbasi dua sampai empat kali kalau sedang ingin.
Saat itu baru aku tahu, bahwa ternyata libidoku besar, lebih besar dari Meika. Namun aku terlalu pintar untuk menyerah pada nafsu. Meika tidak sekuat itu, karena tak lama sesudah kami diterima masuk universitas, Meika sudah mendapatkan cowok yang paling ganteng dan pintar dari dua angkatan di atasnya. Kakak kelas yang rupanya bisa memahami libido Meika, karena ia sering curhat padaku dan bercerita bagaimana mereka memadu cinta. Mula-mula petting. Lalu telanjang bersama. Lalu oral seks. Dalam peringatan setahun mereka pacaran, Meika menyerahkan keperawanannya pada Robby, pacarnya itu.
Gilanya, Meika membuat rekaman video malam pertamanya dengan Robby. Ia menunjukkan rekaman itu padaku, membuatku panas dingin melihatnya. Melihat bagaimana mereka bercumbu. Melihat bagaimana Robby menjilati kemaluan Meika sampai ia orgasme. Melihat bagaimana Meika menaruh bantal di bawah pantatnya. Melihat bagaimana Robby mengalasi bantal itu dengan celana dalam Meika.
Melihat kemaluan Robby berdiri — tidak terlalu panjang, tetapi nampak bulat dan lancip, seperti pisau. Dan Meika membimbing batang kemaluan itu ke bibir kemaluannya sendiri, sambil berkata, "Ambil Rob… gua serahkan ini khusus buat elu. Bikin gua enak, Rob." Dan Robby menekan kemaluannya ke dalam. Meika menjerit panjang, membuatku terkejut luar biasa. Jantungku berdebar-debar. Tetapi, kemaluan Robby sudah tertanam seluruhnya dalam liang Meika.
Meika bilang, jangan percaya dengan cerita porno yang mengatakan hubungan pertama itu enak asal terangsang. Waktu itu Meika sudah terangsang berat, dan kemaluannya sudah basah sekali. Tetapi ketika penis Robby masuk, sakitnya tetap tidak tertahankan. Dan begitu masuk semua, sedikit gerakan saja sudah terasa nyeri dan pedih. Dinding vagina perawan memang sempit bukan main, sehingga Robby juga tidak bisa bergerak, kecuali ia tidak peduli Meika kesakitan. Yang terjadi, karena sempitnya dinding kemaluan Meika, Robby akhirnya tidak tahan dan ejakulasi di dalam kemaluan Meika. Tidak ada gerakan-gerakan seks, seperti masuk dan keluar… semuanya begitu cepat. Hanya dalam hitungan tak lebih dari sepuluh menit.
Tetapi yang sepuluh menit itu membuat Meika cemas selama berminggu-minggu, sampai ia mendapatkan menstruasi kembali. Baru sesudah itu ia mau berhubungan badan lagi dengan Robby, kali ini sudah cukup pandai memakai kondom.
Dan aku? Sampai saat ini aku masih perawan. Tetapi tidak berarti aku tidak punya pacar.
Karena, hampir di saat yang sama Meika mulai pacaran dengan Robby, aku pun mulai jadian dengan…. Hansen!
Nanti kusambung lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar