Bloggroll

Jumat, 30 Desember 2011

Bukan Gadis Lagi

Nama gue Rena. Atau begitulah Kak Di memberi nama di rangkaian tulisan ini. Pertama aku aku lihat dan baca, aku bingung dan heran. Gila, Kak Di bikin tulisan beginian? Tapi, setelah membaca, aku mengerti, dasar Kak Di memang nakal tapi baik hati…
Namun, karena sekarang Kak Di sudah terlalu sibuk mengurusi anaknya, jadi dia menyerahkan blog ini kepadaku. Terus terang, aku tidak terlalu pandai menulis, jadi belajar banyak dari cara Kak Di membuat tulisan. Dibilang menyontek gayanya, yah… habis bagaimana lagi, ini kan sudah terpatri. Kak Di memang hebat, sudah lebih dari kakak kandung sendiri. Malah, rasanya seperti Ibu sendiri…
Seperti ceritanya Kak Di, mulanya aku tinggal di rumah Kak Di. Tetapi sekarang aku sudah kuliah, jadi aku pindah kost di dekat kampus. Sekarang aku tingkat 2, jurusan bahasa. Mungkin memang darah menulis ada dalam keluarga kami, ya? Tetapi aku tidak tahu, apakah kesukaan pada sex juga menjadi warisan turun temurun, setelah aku melalui semuanya. Hanya saja, aku tidak suka judul blog ini, jadi setelah minta ijin pada Kak Di, aku menggantinya jadi “Not A Girl, Not Yet A Woman”. Gara-garanya, aku baru melihat video klipnya Britney Spears. Memang klip lama, tapi rasanya melantunkan keadaanku sekarang.
Begini, masa laluku tidak begitu baik. Aku sudah menjadi perempuan nakal sejak SMU. Aku, Rena yang cantik dan pandai, sudah menjadi ratu sekolah yang tidak mengijinkan ada pesaing di lingkungan sekolah. Dan aku sudah membuat seorang pesaing kehilangan kegadisannya, dalam suatu kebodohan yang tak termaafkan. Aku membuatnya diperkosa bergantian, tanpa sadar bahwa aku sendiri diincar sebagai korban. Bukan hanya dia yang mengalami penodaan, aku sendiri pun mengalami bagaimana batang lelaki memasuki liang keperawananku, direkam lagi. Lebih parahnya, aku memberikan dengan sukarela, seperti pelacur yang gembira ditiduri pelanggannya. Dan rekaman itu kemudian beredar, seluruh murid tahu seperti apa bentuk memekku dan bagaimana darah mengalir keluar ketika penis besar itu menerobos masuk. Semua tahu.
Aku pun kehilangan semua harga, semua kehormatan. Aku bukan gadis lagi. Aku perempuan binal yang membuat teman sesamaku kehilangan selaput daranya, lalu aku sendiri menyerahkan dengan sukarela. Dan semua menyaksikannya.  Tidak mungkin aku meneruskan sekolah di situ, dan aku pun pindah ke tempatnya Kak Di, sampai selesai. Itu pun, aku masih mengalami perkosaan…hukuman yang pantas bagiku.

Ketika aku masuk kuliah, aku merasa malu. Tidak ada harganya. Tadinya aku merasa cantik, tetapi setelah ini semua, aku merasa seperti kodok buruk rupa, tidak ada bagusnya. Maka aku tidak mau pakai kosmetik, tidak berdandan, membiarkan penampilan kusut dan kusam. Aku kehilangan minat belajar, walaupun akhirnya Kak Di meyakinkanku bahwa masa depan masih ada. Tetapi, aku tidak lagi berani bermimpi menjadi tokoh, atau menjadi ahli terkemuka, seperti impianku dahulu. Aku masih suka berbahasa, jadi aku mengambil jurusan bahasa walaupun jalur SMU yang terakhir adalah dari IPA. Sudahlah, kalau aku bisa lulus pun, sudah cukup bagus. Lagipula, kuliah bahasa ini memberi sedikit ketenangan jiwa, mempelajari berbagai bentuk sastra dan tulisan. Beberapa cukup untuk menolongku menyalurkan beban hati.
Tapi, aku tidak berani berteman. Walau banyak cowok yang mengajakku jalan, menatapku terpesona (entah, apakah mereka masih melihatku sebagai perempuan cantik?) aku tidak mau dekat-dekat. Lagipula rasanya aku tahu seperti apa tatapan mata yang menginginkan kemolekan tubuhku, yang sayangnya tidak turut menjadi gendut atau jelek sebab aku tidak bisa menghentikan kebiasaan senamku. Aku masih saja bertubuh langsing, dengan dada yang membusung besar, dengan pantat yang membulat, dan celakanya dengan hasrat yang masih menyala-nyala.
Di luar, aku bersikap menjauhi laki-laki. Tetapi sebenarnya, aku ini sudah pernah merasakan nikmatnya disetubuhi. Sudah tahu enaknya kontol keluar masuk memek, menggesek-gesek semakin kuat, hingga muncrat di dalam liangku. Aku sudah tahu enaknya ditindih laki-laki, merasakan kedua putingku bergantian disedoti hingga memanjang dan mengeras, sementara batang keras itu menerobos masuk kuat-kuat. Aku bahkan sudah tahu bagaimana rasanya ketika tiga orang laki-laki, secara bersama-sama menikmati tubuhku dan memberikan kenikmatan padaku. Walau sekarang aku takut, tetapi tubuhku menginginkan kenikmatan itu lagi. Menginginkan kontol lagi masuk ke sini, ke selangkangan ini.
Dan aku menjauhi laki-laki, karena takut akhirnya aku akan begitu saja menyerahkan diri pada serigala buas lainnya, yang hanya membawa luka di atas luka lama yang baru mengering.
Malam-malam, di saat semua sudah tertidur, aku seringkali masih bangun dengan tangan menggosok-gosok kelentit, mencoba meniru gesekan yang enak, yang membuat diri orgasme. Tapi, mana mungkin jari-jari tangan yang lentik ini menggantikan penis yang besar? Aku memang bisa orgasme, tetapi dengan kecewa. Dan marah. Dan frustasi. Karena, aku tidak lagi mau laki-laki, tetapi tubuh dagingku menuntut untuk disetubuhi. Bagaimana ini? Ahh…itulah hukuman bagi perempuan nakal sepertiku. Hukuman seumur hidup. Rasanya aku tidak akan pernah menjadi milik laki-laki, betapapun aku menginginkannya. Karena aku tidak berharga sebagai seorang wanita, walau bukan gadis lagi. Untungnya, ternyata aku keliru. Sangat keliru.
Di semester kedua,  salah satu mata kuliah mengharuskan para mahasiswa untuk bekerja kelompok, berdua-dua. Nah, di situ aku baru tahu bahwa ada seorang mahasiswa - cowok - yang benar-benar kurang pergaulan. Dia pendiam, pemikir, tidak mau berteman. Jika tidak ada tugas kelompok, pasti aku tidak akan pernah mengenalnya! Dan cowok ini nampaknya juga tidak tertarik pada cewek, malah dia dijauhi teman cewek lainnya. Kebetulan, pikirku, karena aku pun sedang tidak ingin bertemu dengan orang yang ‘gaul’. Aku tidak mau ditanyai soal masa lalu, atau soal pacaran. Tidak dulu. Kebetulan juga, waktu pembagian kelompok pertama, aku absen. Akibatnya aku tidak kebagian kelompok, demikian juga dengan cowok itu.
Sebut saja namanya Bob.
Demikianlah, Rena dan Bob menjadi satu kelompok untuk membuat bedah buku, sebuah novel roman klasik. Kami menjadi kelompok yang unik, karena hanya orang yang berpacaran saja yang berkelompok cowok-cewek. Lainnya, cowok dengan cowok dan cewek dengan cewek. Tapi jelaslah bahwa kami tidak berpacaran, hanya merupakan dua orang aneh, walaupun kalau dilihat sebenarnya Bob cukup ganteng dan atletis, meskipun memakai kacamata berbingkai hitam besar, sedangkan aku pun secara fisik tentu masih lumayan menarik (kalau tidak, bagaimana mungkin kakak-kakak angkatan itu setiap kali berusaha mengetahui nama dan telponku?).
Kami mula-mula bertemu di perpustakaan. Sangat kaku, nyaris tidak bicara. Kami menyepakati untuk membagi novelnya menjadi dua, aku baca bagian depan dan Bob dari tengah sampai belakang. Tapi cara begini segera menimbulkan masalah: sebuah novel tidak bisa dibagi seperti itu. Jadi, akhirnya kami berdua harus baca semua, lalu mendiskusikannya. Karena diperpustakaan orang tidak boleh berdiskusi, kami pindah ke kantin. Tapi di kantin ternyata tempatnya ribut sekali, padahal aku dan Bob bukan tipe orang yang suka bicara keras-keras. Dulu aku suka, tetapi sejak aku memutuskan menarik diri, aku berhenti bicara sekeras dulu.
Jadi, kami memutuskan untuk mengerjakan tugas di tempat kostku, karena ada teras di bagian dalam, dengan sebuah meja taman dan empat bangku putih mengelilinginya. Tempat kostku lumayan sepi, jadi kami bisa bicara dengan leluasa. Kami membahas tentang tokoh-tokohnya, situasinya, cara berpikirnya, pesan yang disampaikan, filsafatnya… dan aku menjadi kagum pada Bob.
Meskipun kelihatan kurang pergaulan, ternyata justru Bob adalah pemikir yang hebat. Dia juga mempunyai perasaan yang peka, dan dia tidak suka pada kepalsuan-kepalsuan dari pergaulan mahasiswa, yang memang sering hanya memikirkan diri sendiri dan saling memanfaatkan. Dia melihat bahwa cinta itu seharusnya tidak berkepentingan diri, hanya untuk dia yang dicintai apa adanya. Tapi, mana ada perempuan yang mencintai laki-laki tanpa kepentingan, tanpa impian? Semua perempuan mencintai karena ingin dicintai, ingin dibelai, ingin dijagai, ingin… disetubuhi.
Namun, aku mulai menemukan bahwa aku bisa mencintai Bob tanpa meminta apa-apa. Ia tidak menjanjikan apa-apa, tetapi setelah beberapa minggu bersamanya, aku mulai berpikir untuk memberinya segalanya. Semua yang tersisa, kalau Bob bisa menerima sisa. Mendadak, aku jadi murung sekali. Putus asa. Aku tidak pantas baginya.
“Ren, kamu kenapa hari ini?” tanya Bob siang hari itu.
“Bob… seandainya, misalnya kamu mencintai seseorang, apakah ada syaratnya?”
“Maksudmu?”
“Yah… adakah kesempurnaan yang harus kamu dapat dari seorang perempuan?”
“Kalau aku cinta padanya? Tidak… kalau aku menuntut kesempurnaan, berarti aku hanya menginginkan. Itu bukan mencintai, hanya ingin memiliki. Tapi, aku belum pernah mencintai juga sih… jadi, semua ini baru pikiran.”
“Kalau misalnya, Bob, perempuan itu tadinya pelacur jalanan, apakah kamu bisa jatuh cinta padanya?”
“Hehehehe…. memangnya kamu pelacur jalanan?”
Aku melongo. Bob bisa bercanda juga! Sialan! Aku melemparnya dengan bantal kursi. “Yeeehhhh….”
“Udah, udah… ya deh, maaf, sori. Seandainya kamu dulunya pelacur jalanan, kalau aku memang jatuh cinta, itu bukan halangan. Tapi pastinya, aku akan mau kalau kamu masih jadi pelacur. Hei… hei…!!”
Aku memukuli punggungnya. Sialan, aku terus-terusan disebut pelacur jalanan. Tapi, aku tidak bisa memukulnya keras-keras. Aku tidak bisa marah padanya. Sebaliknya, detik itu aku merasa bahagia. Tanpa aku sadari, aku menangis. Airmataku membanjir keluar.
“Hei… aduh… maafkan aku, maaf….” Bob menjadi bingung. Aku menjadi-jadi, menangis. Aku membenamkan kepalaku di dadanya. Ia tidak bisa apa-apa, selama 10 menit aku menangis sesenggukkan tak tertahan, membanjir keluar. Airmataku membasahi baju kaosnya. Tapi, aku semakin lama semakin merasa lega.
“Sori Bob… sori… aduh, aku bikin basah bajumu…”
Sekarang giliran Bob yang melongo. Dan entah darimana, aku mendapat satu kekuatan yang selama ini kuidam-idamkan. Kekuatan untuk bercerita tentang masa laluku, sesuatu yang hanya pernah dibahas dengan Kak Di dan Kak Hansen, suaminya. Dan aku pun bercerita.
Bob mendengarkan dengan seksama. Ia tidak berkedip. Ia tidak memberikan ekspresi apapun, hanya memperhatikan. Aku bercerita dengan detil, yang mungkin akan terdengar sebagai cerita porno. Seperti cerita ini, cerita porno — pornea, kisah pelacur yang tidak bisa menghargai, yang merusak milik orang lain dan milik sendiri. Semua kebodohanku, aku buka. Semua rahasiaku, aku buka. Aku beritahu, bahkan bahwa aku sudah mengalami bagaimana dientot dari belakang, masuk anusku, dan bagaimana aku orgasme dibuatnya. Sebuah kebodohan.
Akhirnya, aku menjelaskan kebodohanku. Ketololanku. Betapa aku berharap bisa berubah. Bahwa aku sudah meninggalkan semuanya di belakang, tetapi aku tidak berani menghadap ke depan. Tidak lagi bisa maju ke muka, sampai aku menemukan seseorang yang berkata sanggup untuk menerima seorang mantan pelacur jalanan. Setelah ceritaku ini, mungkin Bob akan menjauhiku, akan membenciku — siapa tahu? Tapi itu sudah tidak masalah lagi. Karena aku tahu, Bob tidak pernah memandangku dengan mengingini, seperti laki-laki lain. Aku pun tidak menginginkannya, aku menerima kalau dia menolak untuk berdekatan denganku.
Karena saat itu aku sudah memutuskan, aku akan mencintainya dengan memberi, tanpa menginginkan. Dan pertama kali, aku memberinya semua rahasia hidupku. Hanya kuberikan pada orang yang aku cintai dengan sepenuh hati, tanpa mengingini.
Setelah ceritaku selesai, Bob terdiam cukup lama. Ia memandangku lekat, dekat. Ia tidak menjauh. Sebaliknya, tangannya meraih tanganku.
“Makasih Ren,” katanya dengan serius. Aku tidak tahu harus berkata apa. “Aku…merasa terhormat karena kamu mau bercerita seperti ini. Pasti aku telah menjadi orang yang khusus bagimu. Dan kamu sebenarnya adalah seorang yang pandai dan baik hati, aku tidak bisa membayangkan kamu sudah melakukan semua itu.”
“Aku sudah berubah, Bob.”
“Aku tahu,” kata Bob sambil tersenyum, “dan selama beberapa minggu ini bersama kamu, hanya orang bodoh saja yang tidak terpikat dan jatuh hati sama kamu. Tapi, aku memang ingin belajar untuk mencintai dengan benar. Mencintai, bukan mengingini.”
Sejak saat itu, aku dan Bob semakin erat. Sementara aku sudah memutuskan untuk mencintainya, Bob masih mencari-cari di dalam hati, apakah dia memang mencintaiku? Tapi aku tidak pernah menuntutnya. Mencintai seperti ini lebih mudah, tanpa tuntutan. Hanya pemberian, dan aku melayaninya seperti seorang istri yang baik terhadap suaminya. Tentu saja, belum termasuk pelayanan di atas ranjang.
Suatu hari, kira-kira 2 bulan kemudian, Bob mengajakku bicara berdua. Serius. Jadi, kami masuk ke kamarku. Sejak aku bercerita itu, aku tidak sungkan lagi mengajaknya masuk kamar. Toh dia sudah tahu, bahwa aku sudah mengenal hubungan kelamin, dan tidak ada lagi yang perlu dikuatirkan. Tak ada lagi yang bisa hilang, bukan?
“Ren… aku mau kamu tahu, ternyata…aku memang cinta padamu.”
Aku menjadi pucat. Kata-katanya begitu langsung, begitu….terbuka, apa adanya. Aku tersenyum. Secara reflek, aku memeluknya. Memeluknya erat-erat.
“Kamu menginginkanku?” tanyaku lirih di telinganya.
“Itulah….aku merasa bersalah. Aku menerimamu apa adanya. Aku mencintai kamu apa adanya. Tetapi, aku juga menginginkan kamu. Padahal, aku ingin cinta sama kamu, tanpa menginginkan sesuatu…. tapi aku ingin…. ingin kamu, Ren.”
Aku bersorak dalam hati. Betapa bahagianya! Bob menginginkanku!
“Bob… Bob…. boleh Bob, boleh! Tidak ada salahnya menginginkan. Kamu tidak tahu, betapa bahagianya hati seorang wanita yang diinginkan oleh laki-laki!”
Aku memeluknya lagi. Waktu itu, aku hanya memakai T-Shirt tipis dengan celana pendek. Bob juga memakai celana selutut dengan baju kaos. Ketika aku memeluknya sedemikian, aku tiba-tiba saja merasakan ada tonjolan di selangkangan Bob. Sebuah batang lelaki yang mengeras, menekan perutku karena Bob memang lebih tinggi lima senti.
“Bob… kalau mencintai itu memberi, bolehkah aku memberi apa yang kamu mau?” bisikku di telinga Bob.
“Kamu tahu apa mauku?” bisik Bob ditelingaku, “aku ingin memberi apa yang kamu mau, Ren. Aku ingin membahagiakanmu.”
Aku mencium pipinya. Aku mencium hidungnya. Aku mencium bibirnya. Bob tidak pernah berciuman, ia seperti bingung tetapi menikmati ciumanku. Mulut kami terbuka. Lidah kami bertemu, beradu, saling menggesek. Aku memejamkan mata kuat-kuat, menikmati kebahagiaan ini. Airmataku sekali lagi keluar tanpa tertahan. Airmata bahagia.
“Bob… aku bahagia kalau bisa memberi semua. Kamu tidak perlu menginginkan, aku beri dengan rela, asal kamu mau terima apa adanya…. aku sudah sangat bahagia…” Mungkin aku egois? Mungkin aku menghendaki Bob menerima keadaanku yang tidak gadis lagi, tapi juga bukan seorang wanita?
“Aku…mau menerima kamu. Apa adanya. Sekarang.” Kata-kata Bob terputus-putus di antara ciuman-ciuman yang semakin membara. Aku semakin panas.
“Meski kamu hanya mendapatkan buah dada seperti ini?” Tanyaku sambil melepas kaos T-shirt. Bob memandangku. Terpesona. Pertama kalinya melihat seorang gadis hanya memakai bra. Tapi aku membuat matanya lebih terbelalak, ketika aku melepaskan juga bra itu, jatuh ke lantai. Kedua payudaraku membulat mengeras, putingnya tegak menantang. Aku mendekat, aku meraih tangannya. Aku bawa ke dadaku, kiri dan kanan. Aku memejamkan mata, merasakan kedua jempolnya mengusap putingku. Merasakan sensasi yang sudah lama kurindu…. ahh, aku ingin memberi, sekaligus mendapat.
“Nikmatilah, Bob…” desahku pelan. Ia mulai meremasnya. Ia mencium bibirku, lalu leherku, dan turun hingga ke bukit dadaku. Mula-mula yang kiri, sampai putingnya. Lalu berpindah ke puting yang kanan. Pertama kalinya dalam hidup, Bob mencium puting perempuan yang bukan ibunya.
“Indah sekali, Ren… lebih daripada yang pernah aku bayangkan.”
“Kamu membayangkan dada siapa?”
“Ya dada kamu. Boleh aku cium lagi?”
“Boleh… cium, hisap, gigit… tapi jangan sampai luka yah…”
Bob melakukannya lagi, dengan lebih agresif. Tangannya juga mulai merambah punggungku, lalu turun ke bawah, berhenti di pinggang, tepat di tepian pinggul di atas pantat.
“Bob, kamu boleh pegang semua. Buka semua. Lihat semua…” bisikku lirih. Bob yang semula ragu, lantas menurunkan tangannya. Celana pendekku hanya pakai karet, jadi aku dengan sebelah tangan terus memelorotkan celanaku, berikut celana dalamnya. Membuat Bob dengan mudah memegang kedua pantatku, kulit bertemu kulit.  Ia mengelus kedua bongkahan pantatku yang membulat, sekali lagi, untuk pertama kalinya. Aku merenggangkan kaki, sementara kami masih berdiri. Dari pantat, Bob mengusap ke sebelah depan, ke selangkangan. Ia menemukan bulu-bulu kemaluanku yang selalu kurapikan itu.
Aku tidak bisa menahan desahan, ketika tangan Bob meraba bibir kemaluanku. Ia tidak pernah tahu seperti apa kemaluan perempuan, jadi ia hanya mencari-cari. Aku tahu, ia sangat penasaran. Maka, aku melepaskan diri, sementara aku sudah bertelanjang bulat.
Aku melangkah menuju ke ranjang, sambil menyalakan lampu baca diatas. Kamarku itu memang tidak punya jendela keluar, jadi masih gelap saja walau di sore hari begini. Aku terlentang di ranjang, merenggangkan kaki.
“Bob, kalau kamu mau, kamu boleh lihat. Tapi, kalau kamu kecewa…. aku tidak apa-apa…” kataku pelan. Aku tidak yakin, apakah Bob masih mau kemaluan yang sudah tidak perawan? Tapi aku ingin memastikan. Aku membiarkannya melihat kemaluan yang sudah pernah didera beberapa penis laki-laki besar ini. Aku memejamkan mata. Penentuannya sekarang.
Bob tidak berhenti atau berpaling, aku merasakan kedua tangannya merenggangkan lagi kedua kakiku lebar-lebar, sampai bibir kemaluanku agak tertarik ke kiri dan ke kanan. Aku merasakan desah nafas di dekat pangkal pahaku. Aku merasakan desah nafas di bibir bawahku. Dan tiba-tiba, aku terlonjak merasakan ciuman di bawah sana.
“Indah sekali Ren….aku…”
“Bob, lakukan apa saja yang kamu mau… tidak apa-apa kok…”
Bob berdiri. Ia membuka baju kaosnya. Ia membuka celananya. Ia melepaskan celana dalamnya. Untuk pertama kalinya, aku melihat batang kemaluan Bob tegak berdiri. Ujungnya sudah basah, merah tua warnanya. Aku melihat tubuh yang indah dan atletis, kekar, dengan penis yang besar. Lebih besar daripada yang pernah aku lihat sebelumnya!
Bob menatap wajahku, lalu menurunkan tubuhnya. Kepalanya di atas kepalaku. Dadanya di atas dadaku. Perutnya di atas perutku. Dan penisnya berada di depan liang kemaluanku. Kepalanya bersentuhan dengan kelentit, cairannya membasahi bibir tebal kecil di bawah sana. Kami berciuman lagi, lama.
“Ren, aku juga tidak mau jadi perjaka lagi. Aku mau menyerahkannya buat kamu. Maukah kamu menerimanya?”
Astaga. Seorang laki-laki menawarkan keperjakaannya?
“Mau Bob, mau! Oohh…. aku cinta padamu, Bob!”
Ia menekan. Terpeleset. Bob untuk sejenak menjadi bingung. Aku lantas memegangi kelamin laki-laki ini, mengarahkan pada kelaminku. Mengajak untuk bersetubuh, menjadi satu tubuh. Aku menekannya agak di bawah kelentit, merekahkan bibir kemaluan yang sudah lama tidak pernah tersentuh penis lelaki.
Bob menekan. Uuggghh…. seperti menjadi perawan lagi rasanya. Sakit! Tapi entah mengapa, justru aku bahagia karena merasa sakit. Walau tanpa tertahan, aku merintih kesakitan. Penis ini benar-benar besar!
“Kenapa Ren? Sakit?”
“Ouuuhhh…. terusin Bob…. nggak apa-apa….”
Bob menekan lagi. Ia memenuhi, menyesakkanku. Rasanya liang kemaluanku direnggangkan sepenuhnya, sementara batang itu sesenti demi sesenti menyeruak masuk, sampai pangkalnya. Bulu bertemu bulu. Kelentitku terjepit di antara dua tulang selangkangan, terasa amat nikmat, sakit, dan penuh. Aku memeluknya kuat-kuat, kedua tanganku menahan pantat yang kekar diatasku. Kedua kakiku melibat kakinya, merasakan enaknya bergesekan dengan bulu-bulu betisnya. Dan kami berciuman, erat sekali.
Akhirnya, kemaluanku kembali diisi oleh penis laki-laki. Kali ini bukan karena diinginkan, melainkan karena kuberikan dengan cinta, dengan sukacita.
Beberapa detik kemudian, Bob mulai menggerakkan penisnya. Mungkin sudah terjadi secara alami, ya? Lelaki memundur-majukan penisnya di liang kemaluan perempuan. Semakin lama, semakin cepat. Deru nafas Bob menjadi lebih cepat. Cepat. Aku juga semakin tinggi melayang, nikmat bukan main. Enak bukan main. Penis yang tidak terlalu panjang, tetapi berdiameter besar dan kekar berurat, masuk keluar, masuk keluar, masuk…. dan keluar!
Bob mencabut penisnya, lalu ia memuntahkan spermanya di perutku. Di saat yang sama, aku pun mendapatkan orgasme hebat, walau aku merasa sangat kecewa karena kehilangan penis itu. Tetapi aku tahu, Bob tidak bermaksud mengeluarkan di dalam rahimku. Ia tahu, kami belum siap punya anak, walau saat itu aku dengan sukacita bersedia dihamilinya. Aku ingin dia menjadi ayah anak-anakku nantinya.
Setelah beberapa saat, tubuh Bob terguling ke sisiku. Ia meringis, melihat tubuhku dipenuhi maninya, yang muncrat sampai ke muka. Ke rambut. Begitu banyak.
“Bob, kamu nggak pernah masturbasi, ya?”
“Pernah sih… tapi jarang. Dan terakhir dulu, aku hanya bisa membayangkan kamu.”
“Kenapa tidak dikeluarin lagi?”
“Karena setelah kenal kamu, aku tidak ingin mengeluarkannya di tempat lain, selain di situ,” katanya sambil menunjuk selangkanganku.
Aku tersenyum. Akhirnya, aku sungguh menemukan seseorang dalam hidupku, yang akan kuberi seluruh kehidupanku. Seluruh tubuhku. Ketika aku melihat lagi ke bekas selangkangan, ke bibir kemaluan yang sudah terpuaskan, aku melihat bercak darah di situ.
Darah?
“Kok berdarah, Ren?” Bob juga heran.
Ya, rupanya persis seperti darah perawan. Sekali lagi aku mengeluarkan air mata. Hari itu, rasanya aku benar-benar menjadi seorang wanita yang memberikan keperawanannya.

1 komentar:

  1. Ceritanya begitu bagus.. Tidak hnya sensual tapi juga emosional... Bagusbbanget

    BalasHapus