Nama gue Rena. Atau begitulah Kak Di memberi nama di
rangkaian tulisan ini. Pertama aku aku lihat dan baca, aku bingung dan heran.
Gila, Kak Di bikin tulisan beginian? Tapi, setelah membaca, aku mengerti, dasar
Kak Di memang nakal tapi baik hati…
Namun, karena sekarang Kak Di sudah terlalu sibuk mengurusi
anaknya, jadi dia menyerahkan blog ini kepadaku. Terus terang, aku tidak
terlalu pandai menulis, jadi belajar banyak dari cara Kak Di membuat tulisan.
Dibilang menyontek gayanya, yah… habis bagaimana lagi, ini kan sudah terpatri.
Kak Di memang hebat, sudah lebih dari kakak kandung sendiri. Malah, rasanya
seperti Ibu sendiri…
Seperti ceritanya Kak Di, mulanya aku tinggal di rumah Kak
Di. Tetapi sekarang aku sudah kuliah, jadi aku pindah kost di dekat kampus.
Sekarang aku tingkat 2, jurusan bahasa. Mungkin memang darah menulis ada dalam
keluarga kami, ya? Tetapi aku tidak tahu, apakah kesukaan pada sex juga menjadi
warisan turun temurun, setelah aku melalui semuanya. Hanya saja, aku tidak suka
judul blog ini, jadi setelah minta ijin pada Kak Di, aku menggantinya jadi “Not
A Girl, Not Yet A Woman”. Gara-garanya, aku baru melihat video klipnya Britney
Spears. Memang klip lama, tapi rasanya melantunkan keadaanku sekarang.
Begini, masa laluku tidak begitu baik. Aku sudah menjadi
perempuan nakal sejak SMU. Aku, Rena yang cantik dan pandai, sudah menjadi ratu
sekolah yang tidak mengijinkan ada pesaing di lingkungan sekolah. Dan aku sudah
membuat seorang pesaing kehilangan kegadisannya, dalam suatu kebodohan yang tak
termaafkan. Aku membuatnya diperkosa bergantian, tanpa sadar bahwa aku sendiri
diincar sebagai korban. Bukan hanya dia yang mengalami penodaan, aku sendiri
pun mengalami bagaimana batang lelaki memasuki liang keperawananku, direkam
lagi. Lebih parahnya, aku memberikan dengan sukarela, seperti pelacur yang
gembira ditiduri pelanggannya. Dan rekaman itu kemudian beredar, seluruh murid
tahu seperti apa bentuk memekku dan bagaimana darah mengalir keluar ketika
penis besar itu menerobos masuk. Semua tahu.
Aku pun kehilangan semua harga, semua kehormatan. Aku bukan
gadis lagi. Aku perempuan binal yang membuat teman sesamaku kehilangan selaput
daranya, lalu aku sendiri menyerahkan dengan sukarela. Dan semua
menyaksikannya. Tidak mungkin aku meneruskan sekolah di situ, dan aku pun
pindah ke tempatnya Kak Di, sampai selesai. Itu pun, aku masih mengalami
perkosaan…hukuman yang pantas bagiku.
Ketika aku masuk kuliah, aku merasa malu. Tidak ada
harganya. Tadinya aku merasa cantik, tetapi setelah ini semua, aku merasa seperti
kodok buruk rupa, tidak ada bagusnya. Maka aku tidak mau pakai kosmetik, tidak
berdandan, membiarkan penampilan kusut dan kusam. Aku kehilangan minat belajar,
walaupun akhirnya Kak Di meyakinkanku bahwa masa depan masih ada. Tetapi, aku
tidak lagi berani bermimpi menjadi tokoh, atau menjadi ahli terkemuka, seperti
impianku dahulu. Aku masih suka berbahasa, jadi aku mengambil jurusan bahasa
walaupun jalur SMU yang terakhir adalah dari IPA. Sudahlah, kalau aku bisa
lulus pun, sudah cukup bagus. Lagipula, kuliah bahasa ini memberi sedikit
ketenangan jiwa, mempelajari berbagai bentuk sastra dan tulisan. Beberapa cukup
untuk menolongku menyalurkan beban hati.
Tapi, aku tidak berani berteman. Walau banyak cowok yang
mengajakku jalan, menatapku terpesona (entah, apakah mereka masih melihatku
sebagai perempuan cantik?) aku tidak mau dekat-dekat. Lagipula rasanya aku tahu
seperti apa tatapan mata yang menginginkan kemolekan tubuhku, yang sayangnya
tidak turut menjadi gendut atau jelek sebab aku tidak bisa menghentikan
kebiasaan senamku. Aku masih saja bertubuh langsing, dengan dada yang membusung
besar, dengan pantat yang membulat, dan celakanya dengan hasrat yang masih
menyala-nyala.
Di luar, aku bersikap menjauhi laki-laki. Tetapi sebenarnya,
aku ini sudah pernah merasakan nikmatnya disetubuhi. Sudah tahu enaknya kontol
keluar masuk memek, menggesek-gesek semakin kuat, hingga muncrat di dalam
liangku. Aku sudah tahu enaknya ditindih laki-laki, merasakan kedua putingku
bergantian disedoti hingga memanjang dan mengeras, sementara batang keras itu
menerobos masuk kuat-kuat. Aku bahkan sudah tahu bagaimana rasanya ketika tiga
orang laki-laki, secara bersama-sama menikmati tubuhku dan memberikan
kenikmatan padaku. Walau sekarang aku takut, tetapi tubuhku menginginkan kenikmatan
itu lagi. Menginginkan kontol lagi masuk ke sini, ke selangkangan ini.
Dan aku menjauhi laki-laki, karena takut akhirnya aku akan
begitu saja menyerahkan diri pada serigala buas lainnya, yang hanya membawa
luka di atas luka lama yang baru mengering.
Malam-malam, di saat semua sudah tertidur, aku seringkali
masih bangun dengan tangan menggosok-gosok kelentit, mencoba meniru gesekan
yang enak, yang membuat diri orgasme. Tapi, mana mungkin jari-jari tangan yang
lentik ini menggantikan penis yang besar? Aku memang bisa orgasme, tetapi
dengan kecewa. Dan marah. Dan frustasi. Karena, aku tidak lagi mau laki-laki,
tetapi tubuh dagingku menuntut untuk disetubuhi. Bagaimana ini? Ahh…itulah
hukuman bagi perempuan nakal sepertiku. Hukuman seumur hidup. Rasanya aku tidak
akan pernah menjadi milik laki-laki, betapapun aku menginginkannya. Karena aku
tidak berharga sebagai seorang wanita, walau bukan gadis lagi. Untungnya,
ternyata aku keliru. Sangat keliru.
Di semester kedua, salah satu mata kuliah mengharuskan
para mahasiswa untuk bekerja kelompok, berdua-dua. Nah, di situ aku baru tahu
bahwa ada seorang mahasiswa - cowok - yang benar-benar kurang pergaulan. Dia
pendiam, pemikir, tidak mau berteman. Jika tidak ada tugas kelompok, pasti aku
tidak akan pernah mengenalnya! Dan cowok ini nampaknya juga tidak tertarik pada
cewek, malah dia dijauhi teman cewek lainnya. Kebetulan, pikirku, karena aku
pun sedang tidak ingin bertemu dengan orang yang ‘gaul’. Aku tidak mau ditanyai
soal masa lalu, atau soal pacaran. Tidak dulu. Kebetulan juga, waktu pembagian
kelompok pertama, aku absen. Akibatnya aku tidak kebagian kelompok, demikian
juga dengan cowok itu.
Sebut saja namanya Bob.
Demikianlah, Rena dan Bob menjadi satu kelompok untuk
membuat bedah buku, sebuah novel roman klasik. Kami menjadi kelompok yang unik,
karena hanya orang yang berpacaran saja yang berkelompok cowok-cewek. Lainnya,
cowok dengan cowok dan cewek dengan cewek. Tapi jelaslah bahwa kami tidak
berpacaran, hanya merupakan dua orang aneh, walaupun kalau dilihat sebenarnya
Bob cukup ganteng dan atletis, meskipun memakai kacamata berbingkai hitam
besar, sedangkan aku pun secara fisik tentu masih lumayan menarik (kalau tidak,
bagaimana mungkin kakak-kakak angkatan itu setiap kali berusaha mengetahui nama
dan telponku?).
Kami mula-mula bertemu di perpustakaan. Sangat kaku, nyaris
tidak bicara. Kami menyepakati untuk membagi novelnya menjadi dua, aku baca
bagian depan dan Bob dari tengah sampai belakang. Tapi cara begini segera
menimbulkan masalah: sebuah novel tidak bisa dibagi seperti itu. Jadi, akhirnya
kami berdua harus baca semua, lalu mendiskusikannya. Karena diperpustakaan
orang tidak boleh berdiskusi, kami pindah ke kantin. Tapi di kantin ternyata
tempatnya ribut sekali, padahal aku dan Bob bukan tipe orang yang suka bicara
keras-keras. Dulu aku suka, tetapi sejak aku memutuskan menarik diri, aku
berhenti bicara sekeras dulu.
Jadi, kami memutuskan untuk mengerjakan tugas di tempat
kostku, karena ada teras di bagian dalam, dengan sebuah meja taman dan empat bangku
putih mengelilinginya. Tempat kostku lumayan sepi, jadi kami bisa bicara dengan
leluasa. Kami membahas tentang tokoh-tokohnya, situasinya, cara berpikirnya,
pesan yang disampaikan, filsafatnya… dan aku menjadi kagum pada Bob.
Meskipun kelihatan kurang pergaulan, ternyata justru Bob
adalah pemikir yang hebat. Dia juga mempunyai perasaan yang peka, dan dia tidak
suka pada kepalsuan-kepalsuan dari pergaulan mahasiswa, yang memang sering
hanya memikirkan diri sendiri dan saling memanfaatkan. Dia melihat bahwa cinta
itu seharusnya tidak berkepentingan diri, hanya untuk dia yang dicintai apa
adanya. Tapi, mana ada perempuan yang mencintai laki-laki tanpa kepentingan,
tanpa impian? Semua perempuan mencintai karena ingin dicintai, ingin dibelai,
ingin dijagai, ingin… disetubuhi.
Namun, aku mulai menemukan bahwa aku bisa mencintai Bob
tanpa meminta apa-apa. Ia tidak menjanjikan apa-apa, tetapi setelah beberapa
minggu bersamanya, aku mulai berpikir untuk memberinya segalanya. Semua yang
tersisa, kalau Bob bisa menerima sisa. Mendadak, aku jadi murung sekali. Putus
asa. Aku tidak pantas baginya.
“Ren, kamu kenapa hari ini?” tanya Bob siang hari itu.
“Bob… seandainya, misalnya kamu mencintai seseorang, apakah
ada syaratnya?”
“Maksudmu?”
“Yah… adakah kesempurnaan yang harus kamu dapat dari seorang
perempuan?”
“Kalau aku cinta padanya? Tidak… kalau aku menuntut
kesempurnaan, berarti aku hanya menginginkan. Itu bukan mencintai, hanya ingin
memiliki. Tapi, aku belum pernah mencintai juga sih… jadi, semua ini baru
pikiran.”
“Kalau misalnya, Bob, perempuan itu tadinya pelacur jalanan,
apakah kamu bisa jatuh cinta padanya?”
“Hehehehe…. memangnya kamu pelacur jalanan?”
Aku melongo. Bob bisa bercanda juga! Sialan! Aku melemparnya
dengan bantal kursi. “Yeeehhhh….”
“Udah, udah… ya deh, maaf, sori. Seandainya kamu dulunya
pelacur jalanan, kalau aku memang jatuh cinta, itu bukan halangan. Tapi
pastinya, aku akan mau kalau kamu masih jadi pelacur. Hei… hei…!!”
Aku memukuli punggungnya. Sialan, aku terus-terusan disebut
pelacur jalanan. Tapi, aku tidak bisa memukulnya keras-keras. Aku tidak bisa
marah padanya. Sebaliknya, detik itu aku merasa bahagia. Tanpa aku sadari, aku
menangis. Airmataku membanjir keluar.
“Hei… aduh… maafkan aku, maaf….” Bob menjadi bingung. Aku
menjadi-jadi, menangis. Aku membenamkan kepalaku di dadanya. Ia tidak bisa
apa-apa, selama 10 menit aku menangis sesenggukkan tak tertahan, membanjir
keluar. Airmataku membasahi baju kaosnya. Tapi, aku semakin lama semakin merasa
lega.
“Sori Bob… sori… aduh, aku bikin basah bajumu…”
Sekarang giliran Bob yang melongo. Dan entah darimana, aku
mendapat satu kekuatan yang selama ini kuidam-idamkan. Kekuatan untuk bercerita
tentang masa laluku, sesuatu yang hanya pernah dibahas dengan Kak Di dan Kak
Hansen, suaminya. Dan aku pun bercerita.
Bob mendengarkan dengan seksama. Ia tidak berkedip. Ia tidak
memberikan ekspresi apapun, hanya memperhatikan. Aku bercerita dengan detil,
yang mungkin akan terdengar sebagai cerita porno. Seperti cerita ini, cerita
porno — pornea, kisah pelacur yang tidak bisa menghargai, yang merusak milik
orang lain dan milik sendiri. Semua kebodohanku, aku buka. Semua rahasiaku, aku
buka. Aku beritahu, bahkan bahwa aku sudah mengalami bagaimana dientot dari
belakang, masuk anusku, dan bagaimana aku orgasme dibuatnya. Sebuah kebodohan.
Akhirnya, aku menjelaskan kebodohanku. Ketololanku. Betapa
aku berharap bisa berubah. Bahwa aku sudah meninggalkan semuanya di belakang,
tetapi aku tidak berani menghadap ke depan. Tidak lagi bisa maju ke muka,
sampai aku menemukan seseorang yang berkata sanggup untuk menerima seorang
mantan pelacur jalanan. Setelah ceritaku ini, mungkin Bob akan menjauhiku, akan
membenciku — siapa tahu? Tapi itu sudah tidak masalah lagi. Karena aku tahu,
Bob tidak pernah memandangku dengan mengingini, seperti laki-laki lain. Aku pun
tidak menginginkannya, aku menerima kalau dia menolak untuk berdekatan
denganku.
Karena saat itu aku sudah memutuskan, aku akan mencintainya
dengan memberi, tanpa menginginkan. Dan pertama kali, aku memberinya semua rahasia
hidupku. Hanya kuberikan pada orang yang aku cintai dengan sepenuh hati, tanpa
mengingini.
Setelah ceritaku selesai, Bob terdiam cukup lama. Ia
memandangku lekat, dekat. Ia tidak menjauh. Sebaliknya, tangannya meraih
tanganku.
“Makasih Ren,” katanya dengan serius. Aku tidak tahu harus
berkata apa. “Aku…merasa terhormat karena kamu mau bercerita seperti ini. Pasti
aku telah menjadi orang yang khusus bagimu. Dan kamu sebenarnya adalah seorang
yang pandai dan baik hati, aku tidak bisa membayangkan kamu sudah melakukan
semua itu.”
“Aku sudah berubah, Bob.”
“Aku tahu,” kata Bob sambil tersenyum, “dan selama beberapa
minggu ini bersama kamu, hanya orang bodoh saja yang tidak terpikat dan jatuh
hati sama kamu. Tapi, aku memang ingin belajar untuk mencintai dengan benar.
Mencintai, bukan mengingini.”
Sejak saat itu, aku dan Bob semakin erat. Sementara aku
sudah memutuskan untuk mencintainya, Bob masih mencari-cari di dalam hati,
apakah dia memang mencintaiku? Tapi aku tidak pernah menuntutnya. Mencintai
seperti ini lebih mudah, tanpa tuntutan. Hanya pemberian, dan aku melayaninya
seperti seorang istri yang baik terhadap suaminya. Tentu saja, belum termasuk
pelayanan di atas ranjang.
Suatu hari, kira-kira 2 bulan kemudian, Bob mengajakku
bicara berdua. Serius. Jadi, kami masuk ke kamarku. Sejak aku bercerita itu,
aku tidak sungkan lagi mengajaknya masuk kamar. Toh dia sudah tahu, bahwa aku
sudah mengenal hubungan kelamin, dan tidak ada lagi yang perlu dikuatirkan. Tak
ada lagi yang bisa hilang, bukan?
“Ren… aku mau kamu tahu, ternyata…aku memang cinta padamu.”
Aku menjadi pucat. Kata-katanya begitu langsung,
begitu….terbuka, apa adanya. Aku tersenyum. Secara reflek, aku memeluknya.
Memeluknya erat-erat.
“Kamu menginginkanku?” tanyaku lirih di telinganya.
“Itulah….aku merasa bersalah. Aku menerimamu apa adanya. Aku
mencintai kamu apa adanya. Tetapi, aku juga menginginkan kamu. Padahal, aku
ingin cinta sama kamu, tanpa menginginkan sesuatu…. tapi aku ingin…. ingin
kamu, Ren.”
Aku bersorak dalam hati. Betapa bahagianya! Bob
menginginkanku!
“Bob… Bob…. boleh Bob, boleh! Tidak ada salahnya
menginginkan. Kamu tidak tahu, betapa bahagianya hati seorang wanita yang
diinginkan oleh laki-laki!”
Aku memeluknya lagi. Waktu itu, aku hanya memakai T-Shirt
tipis dengan celana pendek. Bob juga memakai celana selutut dengan baju kaos.
Ketika aku memeluknya sedemikian, aku tiba-tiba saja merasakan ada tonjolan di
selangkangan Bob. Sebuah batang lelaki yang mengeras, menekan perutku karena
Bob memang lebih tinggi lima senti.
“Bob… kalau mencintai itu memberi, bolehkah aku memberi apa
yang kamu mau?” bisikku di telinga Bob.
“Kamu tahu apa mauku?” bisik Bob ditelingaku, “aku ingin
memberi apa yang kamu mau, Ren. Aku ingin membahagiakanmu.”
Aku mencium pipinya. Aku mencium hidungnya. Aku mencium
bibirnya. Bob tidak pernah berciuman, ia seperti bingung tetapi menikmati
ciumanku. Mulut kami terbuka. Lidah kami bertemu, beradu, saling menggesek. Aku
memejamkan mata kuat-kuat, menikmati kebahagiaan ini. Airmataku sekali lagi
keluar tanpa tertahan. Airmata bahagia.
“Bob… aku bahagia kalau bisa memberi semua. Kamu tidak perlu
menginginkan, aku beri dengan rela, asal kamu mau terima apa adanya…. aku sudah
sangat bahagia…” Mungkin aku egois? Mungkin aku menghendaki Bob menerima
keadaanku yang tidak gadis lagi, tapi juga bukan seorang wanita?
“Aku…mau menerima kamu. Apa adanya. Sekarang.” Kata-kata Bob
terputus-putus di antara ciuman-ciuman yang semakin membara. Aku semakin panas.
“Meski kamu hanya mendapatkan buah dada seperti ini?”
Tanyaku sambil melepas kaos T-shirt. Bob memandangku. Terpesona. Pertama
kalinya melihat seorang gadis hanya memakai bra. Tapi aku membuat matanya lebih
terbelalak, ketika aku melepaskan juga bra itu, jatuh ke lantai. Kedua
payudaraku membulat mengeras, putingnya tegak menantang. Aku mendekat, aku
meraih tangannya. Aku bawa ke dadaku, kiri dan kanan. Aku memejamkan mata,
merasakan kedua jempolnya mengusap putingku. Merasakan sensasi yang sudah lama
kurindu…. ahh, aku ingin memberi, sekaligus mendapat.
“Nikmatilah, Bob…” desahku pelan. Ia mulai meremasnya. Ia
mencium bibirku, lalu leherku, dan turun hingga ke bukit dadaku. Mula-mula yang
kiri, sampai putingnya. Lalu berpindah ke puting yang kanan. Pertama kalinya
dalam hidup, Bob mencium puting perempuan yang bukan ibunya.
“Indah sekali, Ren… lebih daripada yang pernah aku
bayangkan.”
“Kamu membayangkan dada siapa?”
“Ya dada kamu. Boleh aku cium lagi?”
“Boleh… cium, hisap, gigit… tapi jangan sampai luka yah…”
Bob melakukannya lagi, dengan lebih agresif. Tangannya juga
mulai merambah punggungku, lalu turun ke bawah, berhenti di pinggang, tepat di
tepian pinggul di atas pantat.
“Bob, kamu boleh pegang semua. Buka semua. Lihat semua…”
bisikku lirih. Bob yang semula ragu, lantas menurunkan tangannya. Celana
pendekku hanya pakai karet, jadi aku dengan sebelah tangan terus memelorotkan
celanaku, berikut celana dalamnya. Membuat Bob dengan mudah memegang kedua
pantatku, kulit bertemu kulit. Ia mengelus kedua bongkahan pantatku yang
membulat, sekali lagi, untuk pertama kalinya. Aku merenggangkan kaki, sementara
kami masih berdiri. Dari pantat, Bob mengusap ke sebelah depan, ke
selangkangan. Ia menemukan bulu-bulu kemaluanku yang selalu kurapikan itu.
Aku tidak bisa menahan desahan, ketika tangan Bob meraba
bibir kemaluanku. Ia tidak pernah tahu seperti apa kemaluan perempuan, jadi ia
hanya mencari-cari. Aku tahu, ia sangat penasaran. Maka, aku melepaskan diri,
sementara aku sudah bertelanjang bulat.
Aku melangkah menuju ke ranjang, sambil menyalakan lampu
baca diatas. Kamarku itu memang tidak punya jendela keluar, jadi masih gelap
saja walau di sore hari begini. Aku terlentang di ranjang, merenggangkan kaki.
“Bob, kalau kamu mau, kamu boleh lihat. Tapi, kalau kamu
kecewa…. aku tidak apa-apa…” kataku pelan. Aku tidak yakin, apakah Bob masih
mau kemaluan yang sudah tidak perawan? Tapi aku ingin memastikan. Aku
membiarkannya melihat kemaluan yang sudah pernah didera beberapa penis
laki-laki besar ini. Aku memejamkan mata. Penentuannya sekarang.
Bob tidak berhenti atau berpaling, aku merasakan kedua
tangannya merenggangkan lagi kedua kakiku lebar-lebar, sampai bibir kemaluanku
agak tertarik ke kiri dan ke kanan. Aku merasakan desah nafas di dekat pangkal
pahaku. Aku merasakan desah nafas di bibir bawahku. Dan tiba-tiba, aku
terlonjak merasakan ciuman di bawah sana.
“Indah sekali Ren….aku…”
“Bob, lakukan apa saja yang kamu mau… tidak apa-apa kok…”
Bob berdiri. Ia membuka baju kaosnya. Ia membuka celananya.
Ia melepaskan celana dalamnya. Untuk pertama kalinya, aku melihat batang
kemaluan Bob tegak berdiri. Ujungnya sudah basah, merah tua warnanya. Aku
melihat tubuh yang indah dan atletis, kekar, dengan penis yang besar. Lebih
besar daripada yang pernah aku lihat sebelumnya!
Bob menatap wajahku, lalu menurunkan tubuhnya. Kepalanya di
atas kepalaku. Dadanya di atas dadaku. Perutnya di atas perutku. Dan penisnya
berada di depan liang kemaluanku. Kepalanya bersentuhan dengan kelentit,
cairannya membasahi bibir tebal kecil di bawah sana. Kami berciuman lagi, lama.
“Ren, aku juga tidak mau jadi perjaka lagi. Aku mau
menyerahkannya buat kamu. Maukah kamu menerimanya?”
Astaga. Seorang laki-laki menawarkan keperjakaannya?
“Mau Bob, mau! Oohh…. aku cinta padamu, Bob!”
Ia menekan. Terpeleset. Bob untuk sejenak menjadi bingung.
Aku lantas memegangi kelamin laki-laki ini, mengarahkan pada kelaminku.
Mengajak untuk bersetubuh, menjadi satu tubuh. Aku menekannya agak di bawah
kelentit, merekahkan bibir kemaluan yang sudah lama tidak pernah tersentuh
penis lelaki.
Bob menekan. Uuggghh…. seperti menjadi perawan lagi rasanya.
Sakit! Tapi entah mengapa, justru aku bahagia karena merasa sakit. Walau tanpa
tertahan, aku merintih kesakitan. Penis ini benar-benar besar!
“Kenapa Ren? Sakit?”
“Ouuuhhh…. terusin Bob…. nggak apa-apa….”
Bob menekan lagi. Ia memenuhi, menyesakkanku. Rasanya liang
kemaluanku direnggangkan sepenuhnya, sementara batang itu sesenti demi sesenti
menyeruak masuk, sampai pangkalnya. Bulu bertemu bulu. Kelentitku terjepit di
antara dua tulang selangkangan, terasa amat nikmat, sakit, dan penuh. Aku
memeluknya kuat-kuat, kedua tanganku menahan pantat yang kekar diatasku. Kedua
kakiku melibat kakinya, merasakan enaknya bergesekan dengan bulu-bulu betisnya.
Dan kami berciuman, erat sekali.
Akhirnya, kemaluanku kembali diisi oleh penis laki-laki.
Kali ini bukan karena diinginkan, melainkan karena kuberikan dengan cinta,
dengan sukacita.
Beberapa detik kemudian, Bob mulai menggerakkan penisnya.
Mungkin sudah terjadi secara alami, ya? Lelaki memundur-majukan penisnya di
liang kemaluan perempuan. Semakin lama, semakin cepat. Deru nafas Bob menjadi
lebih cepat. Cepat. Aku juga semakin tinggi melayang, nikmat bukan main. Enak
bukan main. Penis yang tidak terlalu panjang, tetapi berdiameter besar dan
kekar berurat, masuk keluar, masuk keluar, masuk…. dan keluar!
Bob mencabut penisnya, lalu ia memuntahkan spermanya di
perutku. Di saat yang sama, aku pun mendapatkan orgasme hebat, walau aku merasa
sangat kecewa karena kehilangan penis itu. Tetapi aku tahu, Bob tidak bermaksud
mengeluarkan di dalam rahimku. Ia tahu, kami belum siap punya anak, walau saat
itu aku dengan sukacita bersedia dihamilinya. Aku ingin dia menjadi ayah
anak-anakku nantinya.
Setelah beberapa saat, tubuh Bob terguling ke sisiku. Ia
meringis, melihat tubuhku dipenuhi maninya, yang muncrat sampai ke muka. Ke
rambut. Begitu banyak.
“Bob, kamu nggak pernah masturbasi, ya?”
“Pernah sih… tapi jarang. Dan terakhir dulu, aku hanya bisa
membayangkan kamu.”
“Kenapa tidak dikeluarin lagi?”
“Karena setelah kenal kamu, aku tidak ingin mengeluarkannya
di tempat lain, selain di situ,” katanya sambil menunjuk selangkanganku.
Aku tersenyum. Akhirnya, aku sungguh menemukan seseorang
dalam hidupku, yang akan kuberi seluruh kehidupanku. Seluruh tubuhku. Ketika
aku melihat lagi ke bekas selangkangan, ke bibir kemaluan yang sudah
terpuaskan, aku melihat bercak darah di situ.
Darah?
“Kok berdarah, Ren?” Bob juga heran.
Ya, rupanya persis seperti darah perawan. Sekali lagi aku
mengeluarkan air mata. Hari itu, rasanya aku benar-benar menjadi seorang wanita
yang memberikan keperawanannya.
Ceritanya begitu bagus.. Tidak hnya sensual tapi juga emosional... Bagusbbanget
BalasHapus