Aku harus mengakui, bahwa gairah berahi dalam diri seseorang adalah api yang berkobar-kobar, dan membakar. Bukannya sekali atau dua kali aku berada hanya berdua saja dengan Hansen, dengan nafsu yang meledak-ledak, merasakan nikmatnya pelukan, nikmatnya ciuman. Di pipi, di dahi, di bibir, di leher, lalu turun ke dada. Ya, kalau sudah begitu aku tidak keberatan membuka bra agar Hansen bisa mencium dadaku yang membesar dan putingnya menjadi keras menegang, berlomba dengan penisnya yang mengeras.
Sekali waktu, berahiku begitu besar, sehingga aku membuka celananya, memelorotkannya, hanya agar dapat menyentuh penis yang merah berurat, dengan ujung yang basah mengkilat. Saat itu rasanya bibir kemaluanku pun sudah merekah, sudah begitu ingin merasakan diterobos penis yang indah. Dan tangan Hansen pun sudah menjamahnya, memainkan klitoris dan labia dan membuatku terbang ke angkasa. Ya, bukan hanya sekali aku orgasme di tangannya. Atau di mulutnya, ketika lidahnya menjulur keluar dan membuat klitorisku yang peka menjadi semakin keras seperti kacang, yang kemudian dikulumnya.
Aku tidak tahu, tapi gairahku itu besar. Masturbasiku hampir setiap hari, tetapi ternyata sama sekali tidak menolong meredam berahi. Bahkan sebaliknya, semakin lama aku semakin gatal ingin disetubuhi, ingin merasakan bagaimana nikmatnya penis itu, bukan hanya tangan-tangan ini saja yang bekerja di sela-sela paha. Jangan percaya kalau ada yang bilang masturbasi itu cocok untuk meredakan nafsu, sebaliknya, masturbasi membuatku semakin siap untuk melepaskan keperawanan. Siap untuk digagahi seseorang.
Tapi aku tahu, sebenarnya aku tidak siap. Selama ini masih ada akal sehat yang mengatakan, bahwa aku tidak boleh melangkah ke sana. Tidak kemarin, tidak juga sekarang. Dan aku tahu, bahwa aku harus berhenti bercumbu seperti ini. Mungkin bisa sekali, atau dua kali, tetapi bukan untuk dilakukan berulang-ulang setiap kali ada kesempatan. Tubuhku adalah milikku, ada dalam kehendakku, bukan sebaliknya. Aku tidak mau dikendalikan kelenjar-kelenjar hormon yang giat bekerja dalam masa muda, dan membuatku melakukan kebodohan.
Masalahnya, aku sudah melihat kebodohan itu. Aku sudah melihat Meika dan Robby. Mereka tidak melakukan kesalahan, bukan… karena mereka hanya mengikuti apa yang ada dalam darah mereka, hormon anak muda yang berlimpah ruah. Melakukan hal itu bukan sesuatu yang salah, melainkan sesuatu yang bodoh, kalau kau bisa melihat bedanya.
Terjadinya kira-kira setahun yang lalu. Waktu itu aku dan Meika sama-sama berumur 22, sedang Robby dan Hansen sama-sama berumur 24. Kedua pemuda ganteng yang pasti memikat siapa pun juga, dan aku tahu kalau Meika sudah tidak perawan lagi sejak beberapa bulan sebelumnya.
Ia mula-mula takut, tetapi semakin lama menjadi semakin menyukai kehadiran penis di vaginanya. Kebutuhan untuk dicumbu dan disetubuhi menjadi sesuatu yang rutin, dan Meika tidak takut untuk melakukan hubungan seks setiap kali ada kesempatan. Aku tidak pernah melihat mereka melakukannya, hanya mendengar saja penuturan Meika tentang pengalamannya, entah tentang gaya atau berapa kali ia orgasme ditusuk penis Robby yang besar dan kekar.
Betapa pun enaknya hubungan seks, orang tetap punya banyak kegiatan lain. Robby juga sibuk, harus membuat skripsi sehingga untuk beberapa saat tidak dapat mengunjungi Meika dan memenuhi kebutuhan biologisnya. Akibatnya, setelah ‘puasa’ selama dua minggu, Meika seperti cacing kepanasan. Sejak mens terakhir, tak sekalipun Robby sempat ML dengannya, dan saat itu vaginanya begitu basah dan peka, sampai-sampai Meika nyaris orgasme hanya karena tempat duduknya cukup kasar dan ada kayu yang menonjol.
Oh ya, aku lupa bercerita: waktu itu keluarga Meika pindah rumah, karena orang tuanya baru saja membeli sebuah rumah yang lebih besar di perumahan di daerah utara. Karena banyak barang yang harus diurus sedang orang tuanya sibuk, jadinya Meika yang harus mengurus kepindahan dan pembelian berbagai furnitur untuk rumah yang baru. Ia lebih dahulu tinggal di rumah baru, sementara orang tuanya baru akan menyusul seminggu kemudian. Hansen masih sibuk ngebut bikin skripsi, jadi ia juga tidak pindah dulu agar bisa berkonsentrasi.
Dan tentunya, Meika memintaku untuk membantunya. Tak mungkin ditolak dong, apalagi memang saat itu kuliah sedang libur. Jadi aku dari pagi membantunya membersihkan beberapa ruangan, sambil mengawasi tukang-tukang yang memindahkan perabotan yang baru dibeli.
Tapi seharian itu aku juga harus menanggung keluhan Meika yang sebentar-sebentar terangsang, bahkan sempat memintaku mengusap-usap memeknya yang memang basah berlendir dan amat sensitif itu. Aneh rasanya menyentuh vagina Meika, karena bibirnya begitu merekah terbuka. Seperti itukah vagina seorang perempuan jika sudah tidak lagi perawan?
Sore itu, tidak semua barang selesai diangkut. Sebagian masih tersisa di ruang tamu, sebuah lemari baju besar, juga meja dan sofa. Aku dan Meika sedang beristirahat, ketika kami mendengar suara mobil. Robby. Meika benar kegirangan, sampai-sampai ia langsung menutup rapat jendela dan pintu. Dan aku.
"Di, gimana nih? Gue kangen berat ama Robby. Tapi dia sungkan kalo ada eloe. Gimana dong?"
Alhasil aku mengalah…dan bersembunyi di lemari baju yang besar itu. Untung dalamnya masih kosong, jadi aku bisa duduk dengan enak. Tapi aku tidak bisa melihat apa-apa, selain lewat sedikit celah pintu lemari yang dibiarkan terbuka agar tidak pengap. Dan untuk pertama kalinya, aku mendengar suara-suara dua orang yang sedang dimabuk berahi. Meika hampir menjerit memanggil nama Robby. Kukira, ia melompat menyongsong kekasihnya. Aku mendengar suara berdebum, lalu erangan. Meika sama sekali tidak menahan-nahan suaranya.
"Robby sayang..buruan! Buka, buka… ayoh… oohhh…"
"Sebentar sayang, buka dulu kaosnya…"
"Ga usah Yang, celananya aja… gua kangen berat…"
"Oh… basah sekali""Ya…langsung masukin aja"
"Begini?"
"Oohh…jangan siksa gue Rob…tusuk dong…"
Dan rintihan. Dan lenguhan. Aku merasa vaginaku sendiri tiba-tiba menjadi basah. Aku membayangkan bahwa di situ ada Hansen yang sedang making-love dengan vaginaku yang berdenyut-denyut ini. Setiap kali Meika merintih, aku merasa itu juga rintihanku sendiri. Dan rasanya, aku juga bisa orgasme, karena tanpa sadar tanganku sudah bermain-main dengan klitoris dan bibir memekku yang juga sudah merekah, walau tidak sebesar Meika.
Hingga, terjadilah puncak itu.
"Mei…Mei… ouf… ouf… aku udah mau dapet Mei… ohhh"
"Gue juga Rob… ohh ohh ohh"
Dan nyaris serempak, Meika dan Robby mengerang. Panjang. Kukira, saat itu Robby sedang membenamkan penisnya dalam-dalam dan mengeluarkan semua isinya. Semoga mereka ingat untuk memasang kondom.
Tapi nyatanya tidak. Terlalu bergairah, terlalu bernafsu. Lupa. Saat kebutuhan paling mendesak adalah merasakan penis menerobos bibir vagina, yang lain tidak penting lagi. Orgasme menjadi tujuan, puncaknya, yang terpenting… dan terbodoh.
"Rob…aduh Rob, kenapa eloe keluarin di dalem? Gue lagi subur…"
"Duh…sori Ka, gue nggak tahan. Lagian kan eloe juga tadi yang ngejepit dan nahan gue di dalem. Terus kita bareng-bareng nyampe…"
Aku tidak akan menceritakan detil keributan yang terjadi sesudahnya, pokoknya sehabis kebutuhan biologisnya terpuaskan, Meika kembali ke pikiran warasnya dan ia menjadi amat sangat khawatir hamil. Robby juga pusing, dan tak lama kemudian ia buru-buru pergi, katanya mau membuat skripsinya lagi. Toh tadi itu ia hanya mampir karena sudah kangen berat tidak tertahankan. Secepat datangnya, secepat itu pulalah Robby pergi, karena sudah ada janji dengan dosen pembimbing.
Setelah Robby pergi, aku keluar dari lemari dan Meika sedang duduk di sofa, masih telanjang, dan menangis. Mungkin ia menyesal; entah karena bertengkar dengan Robby atau karena ia membiarkan Robby mengeluarkan spermanya jauh di dalam vaginanya yang sedang di puncak masa subur.
Pekerjaan hari itu masih diteruskan dan baru selesai seminggu kemudian, tetapi apa yang terjadi pada Meika membuatku berpikir kembali tentang seks sebelum menikah. Karena sesudah hari itu, tiba-tiba saja Meika dan Robby jadi saling menjauh. Dan Meika jadi agak berubah. Dua bulan kemudian, aku melihat payudaranya membesar. Dan Meika mulai muntah dan pusing di pagi hari.
Meika hamil. Robby pergi, entah kemana tanggung jawabnya. Keluarga Meika heboh, mereka membuat semacam sidang untuk menanyai Meika dan aku, yang senantiasa menemaninya. Sudah tanggung, akhirnya Meika menceritakan semua aktivitasnya dengan Robby, yang membuat orang tuanya marah besar. Robby lalu dicari, dimintai pertanggungjawaban. Ia setuju, tapi minta waktu untuk menyelesaikan skripsinya dulu. Akad nikah toh bisa dilakukan di depan beberapa saksi saja, tidak perlu pesta segala.
Ternyata, Robby bukan suami yang baik. Ia sibuk dengan skripsi, sibuk dengan teman-teman, dan tubuh Meika yang tiba-tiba membengkak karena hamil membuatnya nampak tidak lagi menarik dan seksi. Dan karena hamil, tiba-tiba pula Meika kehilangan keinginan berhubungan seks…dan tanpa seks, rupanya tidak ada hal yang membuat mereka saling tertarik lagi. Aku baru tahu, ternyata orang bisa kelihatan saling menyayangi karena satu sama lain saling memenuhi kebutuhan seksnya. Saat tidak ada seks, tidak ada kebutuhan, dan tidak ada lagi rasa sayang!
Mengerikan. Aku suka seks, tapi aku mau menyayangi Hansen karena dirinya, bukan karena penisnya. Dan aku mau Hansen menyayangiku karena diriku, bukan karena memekku. Dan kalau sudah begini, benarlah bahwa memang orang sebaiknya baru berhubungan seks setelah menikah, setelah mengucapkan janji untuk sehidup semati. Saat di mana kehadiran anak bukan merupakan beban, melainkan menjadi kegembiraan.
Ya, aku mau merasa gembira ketika nantinya aku (mudah-mudahan) hamil. Aku ingin menantikan bayiku, ingin membaginya dengan Hansen yang juga senang dengan perut yang membuncit. Setidaknya, tidak seperti Robby yang mukanya masam setiap kali melihat perut Meika yang semakin membesar.
Tapi akhirnya mereka menikah juga, beberapa saat setelah Robby selesai sidang skripsi. Belum di wisuda, tapi dia sudah harus siap menjadi seorang ayah, karena waktu itu umur kehamilan Meika sudah hampir tujuh bulan. Orang tua Meika dan Hansen pindah ke rumah baru, sementara Meika dan Robby menempati rumah lamanya (tadinya, rumah itu mau dikontrakkan atau dijual). Betapa menyedihkan: menjadi keluarga muda, belum ada penghasilan, di rumah tua yang kosong melompong karena sebagian furniturnya sudah keburu dijual.
Berkali-kali aku memberi bahuku untuk tangisan Meika yang menyesali berahinya, tapi nasi sudah jadi bubur. Aku sendiri tetap menyayanginya sebagai sahabat, sebagai calon saudara ipar, sebagai orang yang tahu bagaimana petualangan kami sejak semula. Tetapi aku sendiri bingung, karena ternyata kehamilan mempunyai banyak sisi yang gelap bagiku. Ada perubahan emosi yang kuat, ada perubahan fisik yang melelahkan, baik untuk Meika maupun bagiku sendiri.
Sampai akhirnya, baru saja Meika bulan lalu melahirkan. Normal, bukan operasi caesar. Robby pergi, mencari kerja di kota lain, jadi aku yang menemani Meika dari mulai kontraksi sampai dia selesai melahirkan. Tapi aku tidak berani masuk ruang bersalin, takut aku sendiri nantinya tidak berani melahirkan. Saat menunggu itu, bulu kudukku berdiri setiap kali mendengar jeritan perempuan yang sedang meregang melahirkan anaknya.
Saat aku nanti akan mengalami ini semua, aku sangat berharap ada Hansen di sisiku. Rasanya, aku akan kuat jika ditemani suamiku. Kasihan Meika.
Aku sendiri, setelah peristiwa itu, mengalami hal yang menyenangkan: orang tua Hansen melamar ke orang tuaku. Mereka rupanya khawatir, hubunganku dengan Hansen menjadi seperti Robby dengan Meika. Dan karena Hansen memang serius, kami serius, perubahan ini menyenangkan. Aku dan Hansen langsung merencanakan pernikahan kami, tentu saja setelah Meika selesai melahirkan, agar kami semua sempat memperhatikannya.
Dan sebenarnya, aku sudah hampir menikah. Aku mau menulis lebih banyak –hobi sih– tetapi tidak sempat karena kegiatanku seabreg-abreg untuk pernikahan ini. Ah, Diana yang ini, yang kuper dan takut lelaki ini, akhirnya menikah juga!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar