Bloggroll

Minggu, 25 Desember 2011

Pacaran

Secara alami, aku jatuh cinta sama Hansen. Rasanya tidak ada yang buruk atau kurang dari cowok satu ini: jantan, pintar, bisa membawa diri, ngomongnya enak, dan keringatnya harum. Bahkan ketika Hansen sedang basah, aku suka berada dalam dekapannya. Merasakan aromanya. Mendengarkan suaranya yang empuk. Dan biasanya, aku terangsang berat sehingga malamnya aku pasti bermasturbasi.
Tapi jangan pikir kami mengobral seks. Mungkin para cowok bodoh yang otaknya ngeres, maunya seks melulu. Tetapi aku mau bilang, justru kenikmatan pacaran ada dalam proses menahan diri. Dalam suasana berdua, hanya berdua saja, aku dan Hansen tidak lebih dari berpelukan dan berciuman. Dan sebagian besar waktu dipakai untuk ngobrol. Ngobrol. Dan ngobrol.
Aku suka bicara apa saja, karena aku juga suka membaca. Aku membaca Ayu Utami, hebat dia. Aku membaca Kierkegaard. Aku membaca Time. Setidaknya, apa yang Hansen baca, aku juga mau baca. Dia memang pintar, tapi aku juga pintar. Kami bisa membahas banyak hal sampai berjam-jam, dalam diskusi yang padat dan menggairahkan. Aku suka melihat gayanya berbicara, gerak kepalanya, tangannya, bahkan bola matanya. Aku suka melihat ia berbinar-binar menceritakan impian-impiannya, atau keprihatinannya, atau ide-idenya.
Dan aku juga suka joke-nya. Lelucon yang segar, yang cerdas. Bukan sekedar lelucon murahan tentang toket dan titit yang menjemukan, tetapi apa yang baru akan terasa lucu bila benar-benar dipikirkan. Dan setiap kali kami tertawa terbahak-bahak, lepas bebas. Betapa keren gayanya tertawa. Aku tak pernah bosan mendengar suara tawanya.
Setahun kami pacaran, barulah Hansen menyatakan dia cinta padaku. Dan aku cinta padanya. Hari itu adalah waktu-waktu di bulan November, yang langitnya serasa senantiasa mendung dan udara berbau air dan cemara yang tumbuh di halaman depan. Kami sudah ngobrol sepanjang sore, dan waktu sudah menjelang malam. Mungkin sekitar pukul setengah tujuh. Dan Hansen bilang, "Diana… aku cinta sama kamu."
Deg.
"Hansen…" (aku memang biasa memanggil namanya begitu saja) "aku juga cinta padamu."
Lalu kami berciuman.
Lama. Bibir kami bertemu lembut, lidah kami saling mengelus bibir, lalu saling melibat. Aku memejamkan mata, rasanya tubuhku melayang. Bahagia. Hansen mendekapku kuat-kuat, seolah-olah mau menyatukan diri. Agak sesak nafas, setengah karena dekapannya, setengah lagi karena aku menahan nafas dalam gelora asmara. Saat itu, rasanya aku siap untuk menyerahkan apa saja bagi Hansen. Tetapi dia memang gentleman sejati, hanya mendekap dan menciumku. Lalu memandang wajahku. Lalu berkata, "Diana, kamu cantik sekali."
Biasanya aku merasa bete kalau ada cowok mengatakan begitu, tetapi kali ini aku merasa pernyataan itu wajar. Itu bukan pujian, tetapi pengakuan. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa senang bukan main kalau Hansen mau memandangku. Aku ingin ia melihatku, melihat semua bagian diriku. Bahkan melihat bagian yang tidak pernah dilihat orang lain. Tiba-tiba aku merasa bajuku terlalu banyak. Terlalu tebal. Terlalu tertutup. Aku harus lebih terbuka di depan Hansen, aku tahu ia menikmati tubuh perempuan. Tubuh telanjang perempuan.
Saat itu, aku sudah masuk tingkat dua. Bahan kuliah semakin susah, jadi waktu pacaranku dengan Hansen juga semakin sedikit. Tapi aku pikir tak apalah, karena Hansen juga sebentar lagi harus membuat skripsi. Karena waktu semakin sempit, aku berusaha mengisi waktu yang sedikit itu dengan sebaik-baiknya. Aku ingin dia menikmati diriku, menikmati keberadaanku. Dan aku tahu, seperti hari Rabu waktu kami bertemu, kalau Hansen suka melihatku tampil lebih seksi.
Ya, mengapa tidak? Aku memilih blus tipis dan rok mini. Aku memilih bra berwarna hitam, dengan thong (kau tahu, celana dalam yang pinggirnya tali saja) yang sesuai. Bra-nya tipis juga, sehingga jika aku pakai akan menonjolkan ujung putingku. Dengan baju ini, biasanya aku duduk ngobrol dengan Hansen, mengambil tempat agak jauh sehingga ia bisa menikmati tubuhku.
Di depan Hansen, aku suka bila ia menatap dadaku, dengan blus tipis yang sengaja kubuka kancing atasnya. Kadang sambil bicara aku menyilangkan kakiku, membiarkannya menikmati pemandangan paha, dan sesekali bisa melihat celana dalam. Aku suka bila melihat perlahan-lahan celana di bagian selangkangannya menggelembung, karena ada bagian tubuh yang mengeras di situ. Tapi aku terus bicara, seolah tidak ada apa-apa, sambil merenggangkan pahaku lebih lebar dan membuat Hansen bisa menatap celana dalamku. Selangkanganku. Vaginaku yang basah.
Biasanya, kalau sudah begitu Hansen terus berdiri dan memelukku, lalu kami berciuman panas. Lalu Hansen akan mencium leherku dan meremas tetekku, dan aku akan mengelus-ngelus penisnya yang mengeras di balik celana. Setelah beberapa saat, Hansen akan permisi untuk ke kamar mandi, aku tahu dia bermasturbasi di sana. Aku juga akan segera pulang, karena berahiku juga sudah naik ke ubun-ubun dan turun ke selangkangan, menuntut masturbasi yang meledak-ledak di atas ranjang. Tetapi tak bisa kulepaskan wajahnya, tubuhnya, dan setiap kali bermasturbasi aku membayangkan bahwa tangannya yang menyentuh bibir bawahku, menyentuh klitorisku, dan membuat aku orgasme.
Kebiasaan baru ini membuatku semakin berani berpakaian terbuka, walau tentu saja baju paling seksi hanya kupakai kalau akau sedang berdua dengan Hansen. Dan karena orang menganggapku cantik (kata mereka), aku mulai berteman dengan cewek kampus yang sejenis dalam hal kecantikan dan ke-seksi-an. Tetapi mereka ini bukan hanya seksi, melainkan nge-seks. Jago. Setiap kali kami kumpul bareng, ada saja cerita tentang pengalaman dengan cowok.
Mula-mula aku heran, tetapi ternyata cewek tidak kalah seru untuk ngobrol tentang ngeseks. Dalam kumpulan cewek, pengetahuan tentang ngeseks adalah sesuatu yang dibanggakan. Aku jadi tahu tentang caranya blow job. Aku jadi tahu tentang oral seks. Aku jadi tahu tentang bermacam-macam gaya, termasuk yang bikin sakit pinggang karena terlalu banyak mengikuti gaya film bokep. Mereka rupanya bodoh juga, tidak memikirkan bahwa film bokep itu memang gayanya diatur sedemikian rupa, sehingga kamera bisa menyorot ke selangkangan yang sedang diaduk-aduk penis. Tetapi gaya seperti itu adalah gaya yang bikin keseleo, dan jelas tidak enak, dan jelas yang di film itu berpura-pura.
Dan aku tahu, dari pengalaman nyata teman-teman cewekku ini, bahwa gaya yang normal dan bisa dinikmati hanya ada tiga: gaya misionaris yang konvensional, gaya cewek di atas, dan gaya sodok dari belakang. Kadang ada yang mencoba cowoknya duduk di kursi, lalu ceweknya menduduki penis. Ini juga enak, tetapi biasanya yang cowok nggak terlalu suka karena duduk di kursi tidak memberi banyak keleluasaan untuk bergerak.
Di antara cewek-cewek cantik itu, hanya Aku dan Lara yang masih perawan. Yang lainnya sudah bolong semua, malah ada seorang yang sudah tidur dengan sedikitnya lima cowok berbeda, sehingga bisa mengatakan apa bedanya rasa penis yang panjang, yang diameternya besar, dan yang bentuknya melengkung, saat masuk ke vaginanya. Ada juga yang hanya main dengan dua cowok, tetapi mainnya secara simultan, alias orgy. Dan ia sudah juga mencoba anal seks, yang sakitnya nggak ketulungan dan membuatnya nggak bisa jalan lurus selama seminggu.
Aku sih hanya menjadi pendengar saja, sambil mengumpulkan fantasi yang mendorong berahiku lebih besar di kamar, saat aku bermasturbasi sambil membayangkan Hansen. Keberanianku pun semakin menjadi-jadi, pernah sekali waktu aku sama sekali nggak pakai CD, lantas ngobrol seperti biasa. Dan kali itu Hansen tidak bisa ngomong dengan lancar, karena matanya melotot melihat kemaluanku apa adanya. Tapi kami masih menahan diri, Hansen dan aku tahu bahwa kami tidak akan berhubungan seks sekarang. Setidaknya bukan kemarin, atau hari ini, entah hari esok.
Hubungan macam ini membuat kami saling menghormati. Hansen menghormati privasiku, dan aku menghormati calon suamiku. Aku tidak pernah membantahnya, dan aku juga menjaga untuk tidak menjadi cewek matre yang menguras kantong cowok. Hansen suka membelikanku barang-barang, tetapi aku hanya menginginkan yang benar-benar perlu, yang akan kupakai. Dan Hansen sangat senang, karena semua pemberiannya tidak pernah sia-sia.
Kami berdua sibuk studi, sampai akhirnya Hansen selesai membuat skripsi. Oh, tentu banyak kejadian dan kenikmatan kami berdua…tapi kukira tidak perlu ditulis di sini. Ada banyak hal yang tidak bisa dituang dengan kata-kata, tatkala titik-titik kenikmatan seorang perempuan disentuh dengan lembut oleh perilaku seorang laki-laki sejati. Ada yang mengatakan bahwa titik itu adalah g-spot, suatu tempat di dalam vagina. Tetapi aku sendiri beranggapan, hal itu salah.
Titik g-spot seorang perempuan ada di hatinya, dan tidak bisa disentuh oleh penis atau oleh tangan, melainkan oleh jiwa yang jantan, yang gentleman, yang bisa menahan diri. Setiap kali aku terangsang oleh gayanya, tutur katanya, cara-caranya. Dari tatapan matanya, dari tarikan senyumannya, dari kelembutan usapannya, Hansen menyentuh g-spotku, dan aku terbang ke langit, melayang tinggi di angkasa. Semua itu dilakukannya, dengan keadaan kami hanya duduk berhadapan, dan masih berpakaian lengkap!
Aku menyimpan g-spot dalam vaginaku untuk saat yang benar-benar istimewa. Aku berharap kelak Hansen akan menyentuhnya juga, sebagaimana ia telah menyentuh hatiku. Aku pikir, itu adalah saat yang luar biasa, yang justru menjadi hebat dan istimewa karena dikhususkan, disimpan. Kalau engkau menghargai sesuatu dan menilainya tinggi, engkau akan mendapatkan yang terbaik. Dan bilamana saat itu tiba, aku benar-benar tidak akan masturbasi lagi. Aku akan mendapatkan pria-ku, milik-ku sendiri.
Pernahkah kalian pacaran seperti yang aku alami?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar