Cinta itu bukan seks. Walau orang bilang bersetubuh dengan sebutan “Making Love” alias ML, sebenarnya tidak ada cinta yang dibuat. Yang ada adalah hasrat mengangkang, menginginkan penis menerobos masuk, keluar, masuk, keluar, sampai akhirnya sama-sama merasakan dorongan - yang satu orgasme dan yang lain ejakulasi. Merasakan kedutan-kedutan, sambil menikmati semburan di bagian paling intim dalam diri seorang perempuan. Diriku, Rena.
Tapi aku kehilangan cinta. Enam bulan pertama, rasanya hidup adalah Bob. Hanya Bob. Enam bulan berikutnya, ternyata Bob adalah orang yang membosankan, sukar dipahami. Enam bulan berikutnya, aku mulai berpikir tentang hubungan ini, benar-benarkah aku ini jadi istrinya?
Bukan dia yang mengambil keperawananku, yang membatalkan status kegadisanku. Bukan dia yang memulai enaknya rasa bercinta. Dan sekarang, bukan dia juga yang memulai ingin bersetubuh — dan kadang akhirnya hanya jadi kegiatan yang asal cepat saja: buka baju, mengangkang, masukan, genjot-genjot, semprot, lalu tidur. Mengorok pula. Dua atau tiga jam kemudian, bangun, beres-beres, dan kami pun mengurusi tugas masing-masing, karena sekarang kami sudah tingkat 4. Siapa bilang kuliah jurusan Bahasa adalah hal yang gampang?
Tapi lebih dari itu, kami berubah. Bob berubah. Kuduga, aku pun berubah. Entah kenapa, selera seksku tidak sebesar dahulu. Kalau dipikirkan, dulu sebelum aku jadian dengan Bob, aku masih ingin masturbasi, setidaknya menggosok-gosok kelentit yang gatal, sampai aku dapat dan bisa tidur enak. Tapi sekarang, ingin menggosok pun tidak; aku hanya ingin tidur saja. Hanya sesekali saja aku ingin ditusuk-tusuk, biasanya pada saat puncak masa subur, paling banyak lendir licin yang membantu kepala penis itu menerobos masuk. Setelah aku puas…. ya sudah.
Dan tiba-tiba, aku merasa Bob yang serba merenung itu agak membosankan. Tidak ada kejutan. Dan dalam kehidupan sosial, dia itu lebih sering menarik diri, menghindari keramaian, apalagi petualangan. Cowok lain mengisi waktu luang dengan naik mobil dan camping di gunung, Bob memilih untuk membaca novel lagi. Atau menulis di komputer. aku baru sadar, Bob tidak main game komputer.
Jadi akhirnya, aku mengajak Bob berbicara serius. Dan kukira, dia juga sudah tahu, melihat wajahnya dingin. Mengingatkanku pada Bob dahulu, sebelum aku pacaran dengannya. Tidak peduli?
Kami putus tanpa banyak basa basi. Ya sudah. Bob juga kelihatannya tidak keberatan. Apakah dia bosan bersetubuh denganku? Mungkin, melihat jarangnya ia menginginkan kemaluanku, dan semakin jarang meremas pantatku. Ternyata, seks memang bukan cinta, dan kalau diumbar sebelum waktunya hasilnya hanya kehampaan.
Lama kemudian, aku membaca blog ini lagi dan sekali lagi harus mengakui kebenaran Kak Di: memang harus jaga keperawanan sampai hari pernikahan. Atau, kalau memang kehilangan keperawanan sebelum menikah, pastikan bahwa akhirnya akan menikah juga dengan orang itu. Bukan seksnya yang penting, melainkan kesetiaan dan komitmen, yang lebih penting dari upacara. Itulah satu hal yang membedakan pacaran dengan pernikahan: tidak ada komitmen dalam pacaran, apapun hubungan yang dilakukan. Sekalipun penis itu sudah masuk vagina, anus, dan mulutku berulang kali, memuntahkan pejunya di sana sini, namun tanpa komitmen kami tidak bisa melanjutkan dengan hal yang lebih utama: punya anak.
Aku pikir-pikir lagi, hubungan badan kami menjadi hambar karena setiap kali berhubungan kami sama-sama takut akan kehadiran si kecil. Bob seringkali bertanya, “sudah minum pilnya belum?” - dan itulah pertanyaan yang paling membosankan. Aku pikir, secara naluri, aku ini ingin jadi ibu.
Dulu aku begitu terkesan dengan “mencintai, tapi bukan mengingini”. Aku keliru. Mencintai seharusnya mengingini, yaitu meneruskan kehidupan. Aku ingin anak dalam rahimku, yang kelak akan kulahirkan, lalu kudekap. Tapi Bob tidak mau jadi ayah. Tidak sekarang. Apakah nanti mau? Nanti pun tidak. Kalau begitu, kapan? Kami menghindari pembicaraan pernikahan. Bob berubah, dia menjadi semakin takut menghadapi pernikahan.
Kalau aku putus, Bob merasa lega. Ah, sungguhkah dia dihantui oleh pernikahan?
Aku kembali menjadi single, sendiri, jomblo, atau apalah namanya. Aku kembali mengenakan pakaian standar; dengan kaus dalam dan BH yang tidak menonjol, celana dalam yang lebih lebar, dan celana panjang yang lebih ‘normal’. Setidaknya bukan jenis jeans yang menggantung di pinggang. Aku lebih serius menekuni kuliah, mempersiapkan skripsi. Aku juga mulai menekuni kegiatan agama, karena di sana aku menemukan jawaban. Juga pengampunan, karena aku paling susah mengampuni diri sendiri. Kalau Tuhan menerimaku kembali, setidaknya aku harus menerima diriku juga. Apa adanya.
Sisi positifnya, aku mulai bergaul dengan beberapa cewek lain — yang dahulu aku hindari. Dahulu aku pernah membuat seorang gadis diperkosa, dan sejak itu entah mengapa aku selalu merasa bersalah. Aku merasa tidak bisa menjadi teman perempuan yang baik, karena nyatanya aku sudah pernah mencelakakan kaumku sendiri. Tetapi hubungan dengan Bob memulihkan beberapa hal, dan aku kembali merasa jadi perempuan seperti apa adanya, termasuk bergaul lagi. Dan bagaimanapun juga, aku adalah seorang yang cantik (ini kata banyak orang lho), yang menarik teman-teman yang cantik-cantik juga, yang polos-polos dan baik-baik. Masih perawan, tidak kenal seks walau mereka semua sudah berpacaran lama. Aku yang tahu seks, malah sekarang sudah putus!
Yang satu namanya Helen, lalu temanku yang dari luar Jawa namanya Mimi. Satu lagi dari Bali, namanya Indra. Helen dan Mimi orangnya putih dan cantik, dan ramai sekali. Kalau Indra, kulitnya gelap, dan orangnya halus serta pendiam. Kalau Helen dan Mimi sudah tertawa terbahak-bahak, Indra hanya senyum simpul saja. Namun kami berempat semakin hari semakin akrab, dan mereka sangat penasaran tentang putusnya hubunganku dengan Bob.
Ini adalah saat-saat yang menakutkan. Aku tidak ingin kehilangan teman, tetapi tidak enak juga menahan-nahan cerita, apalagi dari Helen yang tidak jemu bertanya. Aku tahu, dia itu bertanya karena sifatnya yang peduli dan bersahabat, jadi akhirnya aku memutuskan untuk mengungkap cerita hubunganku dengan Bob, termasuk bahwa kami sudah bersetubuh seperti suami istri. Waktu aku selesai bercerita, aku memandang mereka dengan kecut. Apakah dengan cerita ini mereka lantas akan menjauhiku?
Ternyata, mereka memang teman yang baik. Mereka tidak berkomentar negatif. Mereka bilang, “ohh… kok nggak pernah cerita sih? gua pikir kamu takut juga sama cowok. Nggak pernah ngajak-ngajak ngobrolin gituan. Tahunya udah jagoan….” Lantas kami pun bercanda dan tertawa bersama kembali. Enak ya bersahabat seperti ini, karena akhirnya aku bisa menceritakan semua bagian masa laluku yang gelap. Dan dengan penerimaan mereka, rasanya masa lalu ini benar-benar terbuang ke laut, yang tidak pernah aku ingat-ingat lagi.
Beberapa bulan kemudian, aku bahkan mulai lupa bagaimana rasanya penis masuk ke vagina. Tidak ingat, tidak menginginkan, walau aku masih ingin punya suami. Tapi dengan pengalaman bersama Bob, aku pikir ada baiknya aku lebih menahan diri. Nanti sajalah, ketemu laki-laki.
Nah, yang lebih menarik justru kisahnya Helen, Mimi dan Indra, karena ketiga temanku ini sudah dilamar, mau menikah setelah wisuda nanti. Mereka jadi ingin tahu, seperti apa seks itu…
Sampai nanti.
Tapi aku kehilangan cinta. Enam bulan pertama, rasanya hidup adalah Bob. Hanya Bob. Enam bulan berikutnya, ternyata Bob adalah orang yang membosankan, sukar dipahami. Enam bulan berikutnya, aku mulai berpikir tentang hubungan ini, benar-benarkah aku ini jadi istrinya?
Bukan dia yang mengambil keperawananku, yang membatalkan status kegadisanku. Bukan dia yang memulai enaknya rasa bercinta. Dan sekarang, bukan dia juga yang memulai ingin bersetubuh — dan kadang akhirnya hanya jadi kegiatan yang asal cepat saja: buka baju, mengangkang, masukan, genjot-genjot, semprot, lalu tidur. Mengorok pula. Dua atau tiga jam kemudian, bangun, beres-beres, dan kami pun mengurusi tugas masing-masing, karena sekarang kami sudah tingkat 4. Siapa bilang kuliah jurusan Bahasa adalah hal yang gampang?
Tapi lebih dari itu, kami berubah. Bob berubah. Kuduga, aku pun berubah. Entah kenapa, selera seksku tidak sebesar dahulu. Kalau dipikirkan, dulu sebelum aku jadian dengan Bob, aku masih ingin masturbasi, setidaknya menggosok-gosok kelentit yang gatal, sampai aku dapat dan bisa tidur enak. Tapi sekarang, ingin menggosok pun tidak; aku hanya ingin tidur saja. Hanya sesekali saja aku ingin ditusuk-tusuk, biasanya pada saat puncak masa subur, paling banyak lendir licin yang membantu kepala penis itu menerobos masuk. Setelah aku puas…. ya sudah.
Dan tiba-tiba, aku merasa Bob yang serba merenung itu agak membosankan. Tidak ada kejutan. Dan dalam kehidupan sosial, dia itu lebih sering menarik diri, menghindari keramaian, apalagi petualangan. Cowok lain mengisi waktu luang dengan naik mobil dan camping di gunung, Bob memilih untuk membaca novel lagi. Atau menulis di komputer. aku baru sadar, Bob tidak main game komputer.
Jadi akhirnya, aku mengajak Bob berbicara serius. Dan kukira, dia juga sudah tahu, melihat wajahnya dingin. Mengingatkanku pada Bob dahulu, sebelum aku pacaran dengannya. Tidak peduli?
Kami putus tanpa banyak basa basi. Ya sudah. Bob juga kelihatannya tidak keberatan. Apakah dia bosan bersetubuh denganku? Mungkin, melihat jarangnya ia menginginkan kemaluanku, dan semakin jarang meremas pantatku. Ternyata, seks memang bukan cinta, dan kalau diumbar sebelum waktunya hasilnya hanya kehampaan.
Lama kemudian, aku membaca blog ini lagi dan sekali lagi harus mengakui kebenaran Kak Di: memang harus jaga keperawanan sampai hari pernikahan. Atau, kalau memang kehilangan keperawanan sebelum menikah, pastikan bahwa akhirnya akan menikah juga dengan orang itu. Bukan seksnya yang penting, melainkan kesetiaan dan komitmen, yang lebih penting dari upacara. Itulah satu hal yang membedakan pacaran dengan pernikahan: tidak ada komitmen dalam pacaran, apapun hubungan yang dilakukan. Sekalipun penis itu sudah masuk vagina, anus, dan mulutku berulang kali, memuntahkan pejunya di sana sini, namun tanpa komitmen kami tidak bisa melanjutkan dengan hal yang lebih utama: punya anak.
Aku pikir-pikir lagi, hubungan badan kami menjadi hambar karena setiap kali berhubungan kami sama-sama takut akan kehadiran si kecil. Bob seringkali bertanya, “sudah minum pilnya belum?” - dan itulah pertanyaan yang paling membosankan. Aku pikir, secara naluri, aku ini ingin jadi ibu.
Dulu aku begitu terkesan dengan “mencintai, tapi bukan mengingini”. Aku keliru. Mencintai seharusnya mengingini, yaitu meneruskan kehidupan. Aku ingin anak dalam rahimku, yang kelak akan kulahirkan, lalu kudekap. Tapi Bob tidak mau jadi ayah. Tidak sekarang. Apakah nanti mau? Nanti pun tidak. Kalau begitu, kapan? Kami menghindari pembicaraan pernikahan. Bob berubah, dia menjadi semakin takut menghadapi pernikahan.
Kalau aku putus, Bob merasa lega. Ah, sungguhkah dia dihantui oleh pernikahan?
Aku kembali menjadi single, sendiri, jomblo, atau apalah namanya. Aku kembali mengenakan pakaian standar; dengan kaus dalam dan BH yang tidak menonjol, celana dalam yang lebih lebar, dan celana panjang yang lebih ‘normal’. Setidaknya bukan jenis jeans yang menggantung di pinggang. Aku lebih serius menekuni kuliah, mempersiapkan skripsi. Aku juga mulai menekuni kegiatan agama, karena di sana aku menemukan jawaban. Juga pengampunan, karena aku paling susah mengampuni diri sendiri. Kalau Tuhan menerimaku kembali, setidaknya aku harus menerima diriku juga. Apa adanya.
Sisi positifnya, aku mulai bergaul dengan beberapa cewek lain — yang dahulu aku hindari. Dahulu aku pernah membuat seorang gadis diperkosa, dan sejak itu entah mengapa aku selalu merasa bersalah. Aku merasa tidak bisa menjadi teman perempuan yang baik, karena nyatanya aku sudah pernah mencelakakan kaumku sendiri. Tetapi hubungan dengan Bob memulihkan beberapa hal, dan aku kembali merasa jadi perempuan seperti apa adanya, termasuk bergaul lagi. Dan bagaimanapun juga, aku adalah seorang yang cantik (ini kata banyak orang lho), yang menarik teman-teman yang cantik-cantik juga, yang polos-polos dan baik-baik. Masih perawan, tidak kenal seks walau mereka semua sudah berpacaran lama. Aku yang tahu seks, malah sekarang sudah putus!
Yang satu namanya Helen, lalu temanku yang dari luar Jawa namanya Mimi. Satu lagi dari Bali, namanya Indra. Helen dan Mimi orangnya putih dan cantik, dan ramai sekali. Kalau Indra, kulitnya gelap, dan orangnya halus serta pendiam. Kalau Helen dan Mimi sudah tertawa terbahak-bahak, Indra hanya senyum simpul saja. Namun kami berempat semakin hari semakin akrab, dan mereka sangat penasaran tentang putusnya hubunganku dengan Bob.
Ini adalah saat-saat yang menakutkan. Aku tidak ingin kehilangan teman, tetapi tidak enak juga menahan-nahan cerita, apalagi dari Helen yang tidak jemu bertanya. Aku tahu, dia itu bertanya karena sifatnya yang peduli dan bersahabat, jadi akhirnya aku memutuskan untuk mengungkap cerita hubunganku dengan Bob, termasuk bahwa kami sudah bersetubuh seperti suami istri. Waktu aku selesai bercerita, aku memandang mereka dengan kecut. Apakah dengan cerita ini mereka lantas akan menjauhiku?
Ternyata, mereka memang teman yang baik. Mereka tidak berkomentar negatif. Mereka bilang, “ohh… kok nggak pernah cerita sih? gua pikir kamu takut juga sama cowok. Nggak pernah ngajak-ngajak ngobrolin gituan. Tahunya udah jagoan….” Lantas kami pun bercanda dan tertawa bersama kembali. Enak ya bersahabat seperti ini, karena akhirnya aku bisa menceritakan semua bagian masa laluku yang gelap. Dan dengan penerimaan mereka, rasanya masa lalu ini benar-benar terbuang ke laut, yang tidak pernah aku ingat-ingat lagi.
Beberapa bulan kemudian, aku bahkan mulai lupa bagaimana rasanya penis masuk ke vagina. Tidak ingat, tidak menginginkan, walau aku masih ingin punya suami. Tapi dengan pengalaman bersama Bob, aku pikir ada baiknya aku lebih menahan diri. Nanti sajalah, ketemu laki-laki.
Nah, yang lebih menarik justru kisahnya Helen, Mimi dan Indra, karena ketiga temanku ini sudah dilamar, mau menikah setelah wisuda nanti. Mereka jadi ingin tahu, seperti apa seks itu…
Sampai nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar