Bloggroll

Jumat, 30 Desember 2011

Love Game

Love is a game, they said. Cinta adalah permainan, yang dimainkan oleh dua orang. Aturan permainannya sederhana: yang satu harus membuat yang lain bahagia. Kedengarannya mudah, tetapi jika memasukkan faktor ego yang menghendaki kebahagiaan bagi diri sendiri, urusan menjadi runyam. Ruwetnya begini (khusus pada cewek): pada umumnya cowok akan bahagia jika bisa membahagiakan ceweknya. Jadi, bagi cewek ada dua hal untuk memenangkan permainan ini, pertama ia harus membahagiakan cowoknya, kedua ia sendiri harus bahagia, yang mana tidak dapat terjadi bila cowoknya tidak membahagiakan. Hal ini biasanya tidak terjadi pada cowok, karena ia tidak harus kelihatan bahagia untuk membahagiakan cewek. Itulah ukuran yang dari jaman dahulu sudah berlaku: cowok itu pemimpin, serba-logika, dan dengan keperkasaan ia membahagiakan gadis-gadisnya.
Bagiku, ini berarti harus kreatif dalam mencintai. Bagaimana lelakiku tahu kalau aku bahagia?
Baiklah, yang pertama adalah pengamanan. Sejak pernyataan cinta antara aku dan Bob yang menghebohkan itu, aku mempunyai sebuah kebiasaan baru: menelan pil putih kecil. Pil KB. Pil ini cara pakainya memang harus dimulai pada hari pertama mens, yang kebetulan terjadi (benarkah kebetulan?) ketika untuk pertama kalinya Bob memasukkan penisnya ke dalam liangku. Efeknya hebat, berdarah-darah… tapi tentu saja itu bukan darah perawan, melainkan darah mens. Malam itu aku langsung ke apotik membeli beberapa pak, karena aku yakin bahwa semua ini akan berlangsung lama.
Yang kedua adalah, jangan mengumbar seks. Kalau sedang datang bulan, tentu saja tidak bisa berhubungan. Tetapi ketika sudah bersih pun, bukan berarti setiap saat siap ditancap. Dalam permainan cinta, justru ketegangannya harus dibangun dahulu… dan lelaki membutuhkan waktu untuk mengisi kantung maninya. Jika terlalu sering dikeluarkan, ia malah menjadi loyo dan tidak bersemangat. Apa enaknya bersetubuh dengan lelaki yang loyo?
Sejak aku jadian dengan Bob, aku mengubah penampilanku. Sekarang aku lebih sering memakai sweater yang besar, terbuat dari rajutan dengan benang berwarna merah dan perak, menutup dari leher sampai sejengkal di atas lutut. Di bawahnya aku memakai jeans yang menggantung di panggul, seperti gayanya Agnes Monica (atau Britney Spears?), yang panjangnya hanya sampai betis. Sangat casual, menyembunyikan lekuk tubuh dan terutama payudaraku — aku merasa bahwa keduanya semakin besar belakangan ini. Aku mengikat rambutku yang sebahu dengan kuncir ekor kuda, mengenakan make-up tipis — tapi aku meyakinkan diri bahwa aku harus tampil lebih cantik dari biasanya.
Semua ini adalah gayanya Bob. Dia pemikir, tenang, tidak tergesa-gesa. Ia menyukai kesederhanaan, juga kecantikan. Baginya menatap wajah cantik lebih menarik ketimbang menatap tubuh yang seksi, atau serba buka-bukaan. Katanya, yang tertutup itu menawarkan fantasi, khayalan yang bisa terwujud apa saja. Lebih menarik ketimbang sekedar memperlihatkan pusar atau bahu atau paha, yang kadang justru terlihat berbercak, terlalu kurus, atau terlalu gemuk. Ha, tapi tubuhku kan tidak berbercak, dan proporsional pula! Bob hanya tersenyum.
“Kalau Rena, tubuhnya memang sempurna,” katanya lagi.
Dengan kesederhanaan ini, plus aku memberi waktu ekstra untuk wajah dan rambut, malah mengundang lebih banyak pandangan lelaki. Mereka nampak kecewa ketika menyadari bahwa aku sekarang ini sudah jadian dengan Bob. Ah, mungkin Bob benar, memang lelaki justru senang yang seperti ini. Bob menerangkan, jika lelaki tertarik melihat kulit perempuan, pikirannya hanya ngeres saja. Tapi melihat kecantikan dan kesederhanaan, lelaki justru merindukan. Tapi, aku mau agar Bob juga ngeres sesekali…
Satu hal yang dimiliki perempuan adalah, ada waktu terbaik untuk bercinta. Tandanya terlihat dari lendir yang keluar dari vagina. Ketika lendirnya kental, seperti putih telur, itu berarti awalnya. Ketika lendir menjadi semakin encer, aku pun merasa lebih bergairah, birahiku tinggi. Jadi, aku akan membuat agar Bob ingin berhubungan di saat-saat itu…waktu yang paling enak, paling mengesankan. Seperti sekarang ini.
Ketika pagi itu aku dijemput Bob di tempat kost dengan sepeda motornya, aku merapatkan tubuh ke depan. Di lampu merah, aku berbisik di telinganya,
“Bob… enak banget di belakang. Aku nggak pake apa-apa lagi di balik sweater ini.”

Bukan Gadis Lagi

Nama gue Rena. Atau begitulah Kak Di memberi nama di rangkaian tulisan ini. Pertama aku aku lihat dan baca, aku bingung dan heran. Gila, Kak Di bikin tulisan beginian? Tapi, setelah membaca, aku mengerti, dasar Kak Di memang nakal tapi baik hati…
Namun, karena sekarang Kak Di sudah terlalu sibuk mengurusi anaknya, jadi dia menyerahkan blog ini kepadaku. Terus terang, aku tidak terlalu pandai menulis, jadi belajar banyak dari cara Kak Di membuat tulisan. Dibilang menyontek gayanya, yah… habis bagaimana lagi, ini kan sudah terpatri. Kak Di memang hebat, sudah lebih dari kakak kandung sendiri. Malah, rasanya seperti Ibu sendiri…
Seperti ceritanya Kak Di, mulanya aku tinggal di rumah Kak Di. Tetapi sekarang aku sudah kuliah, jadi aku pindah kost di dekat kampus. Sekarang aku tingkat 2, jurusan bahasa. Mungkin memang darah menulis ada dalam keluarga kami, ya? Tetapi aku tidak tahu, apakah kesukaan pada sex juga menjadi warisan turun temurun, setelah aku melalui semuanya. Hanya saja, aku tidak suka judul blog ini, jadi setelah minta ijin pada Kak Di, aku menggantinya jadi “Not A Girl, Not Yet A Woman”. Gara-garanya, aku baru melihat video klipnya Britney Spears. Memang klip lama, tapi rasanya melantunkan keadaanku sekarang.
Begini, masa laluku tidak begitu baik. Aku sudah menjadi perempuan nakal sejak SMU. Aku, Rena yang cantik dan pandai, sudah menjadi ratu sekolah yang tidak mengijinkan ada pesaing di lingkungan sekolah. Dan aku sudah membuat seorang pesaing kehilangan kegadisannya, dalam suatu kebodohan yang tak termaafkan. Aku membuatnya diperkosa bergantian, tanpa sadar bahwa aku sendiri diincar sebagai korban. Bukan hanya dia yang mengalami penodaan, aku sendiri pun mengalami bagaimana batang lelaki memasuki liang keperawananku, direkam lagi. Lebih parahnya, aku memberikan dengan sukarela, seperti pelacur yang gembira ditiduri pelanggannya. Dan rekaman itu kemudian beredar, seluruh murid tahu seperti apa bentuk memekku dan bagaimana darah mengalir keluar ketika penis besar itu menerobos masuk. Semua tahu.
Aku pun kehilangan semua harga, semua kehormatan. Aku bukan gadis lagi. Aku perempuan binal yang membuat teman sesamaku kehilangan selaput daranya, lalu aku sendiri menyerahkan dengan sukarela. Dan semua menyaksikannya.  Tidak mungkin aku meneruskan sekolah di situ, dan aku pun pindah ke tempatnya Kak Di, sampai selesai. Itu pun, aku masih mengalami perkosaan…hukuman yang pantas bagiku.

Senin, 26 Desember 2011

The Rapist

Rena
Orang yang paling senang mendengar berita kehamilanku adalah Meika.
“Wuaaahhhhh!!! Selamat ya! Mmmuuaach! Muuaachh! Muaacchh!…. mmmuuu….”
“Sudah, sudah ah Ka….”
“Belon! Waduh! Gua seneng banget. Huaebaat bangeett!!”
“Hebat apanya? Udah kawin ya terus hamil, ya biasa aja ‘kan?”
“Ngga biasa! Apalagi si Ko Han-Han itu udah pengin banget. Dan gua juga pengin keponakan…. hihihi… buat nemenin si Erick.”
“Erick kan udah ampir dua taon.”
“Justru itu! Jadi dia punya dedek!”
“Ka, emangnya kamu gak mau nambah anak lagi?”
Mendadak, Meika diam. Ooops, aku salah bertanya. Aku tahu, Robby, suaminya, sudah tidak begitu hangat lagi. Apalagi, sekarang ini Meika mulai mendapat karir sebagai pengusaha wanita yang sukses, sebaliknya Robby malah kena PHK. Pesangonnya sih besar, tapi kebanggaan laki-laki kan pekerjaan… tapi, memang dari dulu si Robby begitu. Agak malas. Maunya bersenang-senang. Ngeseks. Duh, seandainya saja Meika waktu itu tidak hamil….
Sementara itu, ternyata hamil bukan sesuatu yang menyenangkan. Aku mabok di pagi hari, muntah di siang hari, lemas di sore hari, pokoknya serba tidak karuan rasanya. Untungnya ada Rena, yang sekarang terbukti benar-benar jadi malaikat bagi keluarga kami. Dia betul-betul berubah; sekarang setiap pulang sekolah, Rena selalu membereskan rumah, mencuci pakaian, dan mulai belajar memasak. Aku tahu caranya memasak, tetapi sejak hamil ini aku tidak tahan mencium bau bawang. Jadi, aku hanya memberi petunjuk, lalu terbaring lemah di ranjang. Rena yang mengerjakan ini dan itu.

Maiden

Bagaimana kehidupan suami istri dinikmati?
Caranya, nikmati saja. Lama-lama jadi suatu kesenangan yang rutin. Jeleknya, lama-lama jadi biasa. Kalau sedang ingin, aku tinggal bertelanjang bulat, lalu menunggu Hansen. Sebaliknya, kalau Hansen yang ingin -- asal aku tidak sedang mens -- ia akan menelanjangiku. Kemudian dengan panas kami bercumbu, kadang di kamar tidur, di kamar mandi, di dapur, di ruang keluarga depan TV, bahkan juga di garasi dan di tempat jemuran di atas, pada sore hari. Tapi kami mulai kehabisan gaya, karena pada dasarnya aku mengangkang dan Hansen memasukkan penis.
Rena
Hanya herannya, aku kok masih belum hamil juga. Padahal, setelah suamiku berejakulasi di dalam, aku mengangkat kaki tinggi-tinggi agar cairannya tidak keluar. Kenapa ya?
Mungkin karena Hansen semakin sibuk. Sekarang ia jadi wakil perusahaan untuk berkeliling Indonesia dan ASEAN, jadi kadang-kadang dua minggu pergi ke Menado, atau ke Bangkok, atau ke Kuala Lumpur. Jadi, hubungan kami tidak bisa dibilang sering sekali. Aku juga mengerti kalau Hansen sedang lelah bukan main. Tapi, bukan ini yang ingin kuceritakan.
Ceritanya begini, Hansen sedang ke Brunei, selama 11 hari. Kantornya baru buka perwakilan di sana, ia harus bertemu dengan duta besar dan sebagainya untuk mengurus surat-surat. Jadi aku menunggu saja di rumah, tapi kali ini ada tamu di rumah kami. Seorang gadis ...atau bukan? Namanya Rena (bukan Lena lho, walau kalau disebut kadang terdengar begitu) adalah sepupu Hansen. Dia ini masih 17 tahun, putih, tinggi (lebih tinggi 5 centi dariku sendiri), rambutnya yang lurus (rebonding) berujung beberapa centi di bawah bahu, dadanya besar, panggulnya bulat, pantatnya montok. Dan wajahnya cantik bukan main.
Dalam ukuran manapun juga, bahkan diriku sebagai seorang perempuan pun harus mengakui: Rena adalah perempuan yang bukan main cantiknya, muda, dan seksi bukan main karena cara berpakaian dan cara berjalan (oh ya, aku belum memberi tahu bahwa waktu Rena tiba, ia dengan anggun melangkah dengan sepatu yang haknya 15 centi). Erotis. Untung aku bukan laki-laki, dan juga bukan perempuan yang bernafsu melihat perempuan lain.

Minggu, 25 Desember 2011

The Lust


Lima hari kemudian…
Jaman sekarang, orang tidak lagi bisa berlama-lama berbulan madu. Apalagi untuk pegawai yang belum lama bekerja, cuti paling lama hanya tiga hari saja. Padahal, rasanya masih belum puas bereksplorasi dengan tubuh dan jiwa, karena vaginaku masih sakit setelah dimasuki di malam pertama itu.
Jadi, selama cuti, suamiku lebih banyak dilayani oleh mulut dan lidahku — setiap malam aku menjilat batang lelaki yang keras dan tegang, menikmati setiap lekukan kepalanya yang licin memerah mengkilat, merasakan asinnya mani yang menetes, seperti madu yang asin. Setelah kepalanya, aku lalu turun hingga ke buah pelirnya, lalu naik lagi, dan menghisap dalam-dalam.
Ya, aku bersetubuh dengan merasakan penis itu menyentuh bagian dalam rongga mulutku, sementara lidahku berputar-putar di kepalanya. Setelah beberapa kali hisapan, Hansen menegang. Mengejang. Menyembur. Dengan gelagapan, aku berusaha menelan semua mani yang ia keluarkan. Membuat apa yang keluar darinya menjadi bagianku, milikku. Diriku.
Sementara suamiku terkulai kelelahan, aku pun tertidur juga dalam pelukannya. Aku belum mengijinkannya menyentuh bibir kemaluanku, sebab rasanya masih perih kalau tersentuh. Entah apa yang salah: barangkali memang penis Hansen terlalu besar. Atau memekku yang terlalu sempit.

Malam Pertama

Tamu terakhir sudah pulang. Tak lama kemudian, orang tua kami pun pulang. Tinggal aku, Hansen, dan Meika, dan jam dinding menunjukkan pukul sepuluh lebih sepuluh. Aku duduk di sofa, di kursi panjangnya. Hansen duduk di hadapanku. Dan Meika sibuk mengunci pagar, mengunci pintu dan jendela, dan memastikan semua tirai jendela sudah tertutup rapat.
Tak lama kemudian, Meika kembali ke ruang tengah tempat kami berada. Dia memakai setelan hitam-hitam yang longgar, di tangannya sebuah handycam sudah terisi dan menyala. Meika sudah siap. Hansen kelihatannya masih grogi. Aku belum siap.
Ketika semua sudah pulang, di saat kami telah sah menjadi suami istri dan boleh melakukan hubungan yang senantiasa ditunggu-tunggu, pula sudah mengenakan pakaian pengantin yang paling seksi bagi suami tercinta, aku ternyata sama sekali tidak siap. Tanganku berkeringat dingin. Rasanya, seluruh pori tubuhku terbuka, dan aku menjadi begitu peka.
"Di," kata Hansen dengan lembut. Sentuhan tangannya di bahuku terasa seperti sumber kehangatan yang mengusir tubuhku yang menggigil. Aku hanya bisa memandang wajahnya, dan di situ aku menemukan wajah yang tampan. Gagah. Suamiku.
Oh ya, Hansen adalah suamiku. Aku ini miliknya.
Dan aku adalah istri yang beruntung, karena mungkin Hansen adalah pria yang paling lembut, a real gentleman, yang pernah aku kenal. Dia tidak asal terjang, walaupun aku tahu dia sangat menanti-nantikan saat ini. Aku tahu penisnya sudah mengeras sejak tadi, sudah siap memasuki celah sempit yang tidak pernah dilalui orang sebelumnya. Aku tahu, dia sudah sangat ingin masuk dalam diriku. Tapi dia masih begitu lembut, begitu sabar.

Pernikahan

Kerepotan sudah dimulai sejak enam bulan yang lalu. Bagaimana aku hendak memulainya? Terlalu memusingkan untuk dituturkan. Soalnya, dalam satu saat yang sama ada berbagai macam urusan dikerjakan sekaligus. Dan bagaimana aku mengatakannya?
Oh ya, maafkan aku. Kali ini aku ingin berbagi tentang hari pernikahanku. Hari yang sakral bagiku, jadi ingin kubagikan pada kalian, terutama yang mau menikah. Aku tahu, mungkin terasa membosankan… kalian ingin tahu tentang malam pertama? Baik, tetapi nanti dulu. Malam pertamaku tidak akan terlalu menarik, jika kalian tidak tahu bagaimana aku menikah. Ya, aku tahu mungkin di antara kalian sudah ada yang kawin, tanpa nikah. Tetapi percayalah, menikah itu sendiri adalah sesuatu yang amat seksi…
Dan aku bicara yang sebenarnya. Dimulainya dari baju pengantin. Baju gaun eropa. Tetapi aku bukan orang yang suka mengikuti kebiasaan secara persis, Hansen juga tidak. Sebaliknya, aku suka sesuatu yang menggairahkan…mengejutkan. Dan untungnya, orang tua kami juga tidak terlalu mempermasalahkan hal ini. Jadi aku dan Hansen memilih baju pengantin yang lain. Yang istimewa.
Untuk itu, aku dibantu oleh temanku yang pandai menjahit, Rika namanya. Aku memintanya menjahitkan baju pengantin untukku. Waktu itu Rika sampai membelalakkan mata, "kamu gila Di? Gue nggak pernah bikin baju gaun pengantin!" Tapi aku juga tidak butuh gaun pengantin seperti yang biasa, yang besar dan berat dan panjang merepotkan, dengan banyak payet-payet dan pernak pernik yang bikin gatal. Tidak, aku lebih suka model Amerika yang simple. Dengan belahan dada yang rendah, sedemikian rendahnya sehingga puting susuku nyaris tersembul keluar jika baju itu sampai melorot sedikit. Aku menambahkan aksen dengan bawahan yang berupa rok mini, benar-benar mini karena hanya sejengkal dari pangkal paha, lalu ditutup oleh ekor yang tidak begitu panjang, hanya sedikit menyapu lantai saja.
Hasilnya? Dari depan, seperti gaun biasa saja. Tetapi Hansen yang duduk di sebelahku dapat melihat pahaku dari bawah sampai ke atas, ke pangkal paha. Dan kau tahu apa rencanaku yang istimewa? Bisakah kalian terka?
Ini dia: aku tidak mengenakan celana dalam. Sedikit pun tidak. Gaun itu dibuat dengan karet yang persis menempel di pinggang, dan Hansen bisa menyelipkan tangannya dari samping dan meremas pantatku, kalau dia mau. Tentu saja waktu aku mempersiapkan gaun istimewa itu dengan Rika, aku tidak bilang apa-apa pada Hansen. Aku ingin menjadi kejutan yang menyenangkan, menjadi bingkisan istimewa yang dapat dibukanya nanti, sebagai istrinya yang sah. Menyenangkan, bukan? Memikirkannya pun sudah merangsangku…tapi kali ini aku harus menahan diri.
Kami juga memikirkan makanan yang tepat, yang tidak biasa. Kalian tahu ‘kan, kalau orang menikah biasanya menu makanan yang disajikan tidak banyak berbeda? Banyak lemak. Mie. Ah, itu membosankan. Jadi aku dan Hansen memilih menu makanan yang lebih banyak mengandung protein. Yang tidak banyak lemak, lebih banyak protein, dan beberapa kandungan yang diketahui sebagai penambah tenaga. Madu. Lebih banyak jahe dan bawang putih. Ada kopi ginseng. Dengan salad aprikot (betul nggak sih, aprikot termasuk salah satu bahan aphrosidiac?). Aku dan Hansen tidak bisa menahan ketawa setiap kali kami memilih menu berdasarkan pengaruhnya untuk meningkatkan stamina dan nafsu seks, termasuk beberapa butir telur ayam kampung setengah matang yang disajikan khusus di meja pengantin.
Dan nampaknya, orang-orang juga setuju-setuju saja dengan pilihan kami itu, mereka hanya senyum-senyum simpul. Yang paling semangat malah si Meika, yang tak henti-hentinya mencari resep penambah stamina seks dan menawarkannya sebagai hidangan penutup dalam acara resepsi nanti. Aku dan Hansen membayangkan, bagaimana nanti jika para tamu turut terangsang karena makanan yang mereka santap? Kasihan yang masih jomblo… Tetapi di luar dari keisengan itu, kami memilih menu yang lain daripada biasa, dan orang menyukainya. Ini tip untuk kalian: jangan jadikan hari pernikahan kalian biasa-biasa saja. Kalau memang harus repot dari beberapa bulan sebelumnya, buatlah sesuatu yang benar-benar tidak akan dilupakan orang, jadi jerih payah kita tidak sia-sia!
Tapi, aku harus berterus terang pada kalian: sex bukan urusan pertama. Yang pertama kali dalam menyusun semua ini adalah memastikan bahwa pria ini memang tepat bagiku, dan aku ini tepat baginya. Aku ingin pernikahanku berlangsung seumur hidup, jadi aku harus memastikan bahwa aku siap menerima kekurangannya. Ya, kekurangannya.
Kebanyakan dari kita siap untuk menerima kelebihan orang lain, tapi tidak mau menerima kekurangan. Salah besar: kalau mau menikah, justru kita harus bersiap-siap dengan kekurangan. Dan urusannya bukan soal sex, melainkan soal…duit. Keuangan. Aku tahu, Hansen baru lulus, belum mapan dalam bekerja. Aku tahu, aku sendiri harus bekerja, dan Hansen juga tahu itu. Ia harus menerima kenyataan, bahwa istrinya nanti juga menjadi seorang wanita karir. Lalu, kami bersepakat tentang bagaimana mengelola uang; yang penting adalah kepercayaan dan kepercayaan dan kepercayaan. Tidak ada pengaturan uang yang betul atau salah, yang ada adalah saling percaya atau tidak. Orang selalu membuat kesalahan dalam hal uang, masalahnya apakah dalam kesulitan karena kesalahan, satu sama lain masih tetap saling percaya?
Lantas, hal berikutnya adalah tentang keluarga. Hansen mempunyai keluarga — yang untungnya amat akrab denganku. Aku sendiri juga punya keluarga. Kalau kami menikah, kami akan membentuk keluarga sendiri: Hansen keluar dari keluarganya dan aku pun keluar dari keluargaku. Kami bersepakat, bahwa keluarga kami adalah keputusan kami sendiri. Tentu saja kami menerima semua masukan dan saran dari semua pihak, tetapi keputusan akhirnya ada di tangan kami berdua saja. Sendiri. Ini memberi cukup kebebasan kepada kami…dan penting untuk hubungan yang serasi. Termasuk seksualitas juga (buat kamu yang pikirannya ngeres melulu).

Hamil

Aku harus mengakui, bahwa gairah berahi dalam diri seseorang adalah api yang berkobar-kobar, dan membakar. Bukannya sekali atau dua kali aku berada hanya berdua saja dengan Hansen, dengan nafsu yang meledak-ledak, merasakan nikmatnya pelukan, nikmatnya ciuman. Di pipi, di dahi, di bibir, di leher, lalu turun ke dada. Ya, kalau sudah begitu aku tidak keberatan membuka bra agar Hansen bisa mencium dadaku yang membesar dan putingnya menjadi keras menegang, berlomba dengan penisnya yang mengeras.
Sekali waktu, berahiku begitu besar, sehingga aku membuka celananya, memelorotkannya, hanya agar dapat menyentuh penis yang merah berurat, dengan ujung yang basah mengkilat. Saat itu rasanya bibir kemaluanku pun sudah merekah, sudah begitu ingin merasakan diterobos penis yang indah. Dan tangan Hansen pun sudah menjamahnya, memainkan klitoris dan labia dan membuatku terbang ke angkasa. Ya, bukan hanya sekali aku orgasme di tangannya. Atau di mulutnya, ketika lidahnya menjulur keluar dan membuat klitorisku yang peka menjadi semakin keras seperti kacang, yang kemudian dikulumnya.
Aku tidak tahu, tapi gairahku itu besar. Masturbasiku hampir setiap hari, tetapi ternyata sama sekali tidak menolong meredam berahi. Bahkan sebaliknya, semakin lama aku semakin gatal ingin disetubuhi, ingin merasakan bagaimana nikmatnya penis itu, bukan hanya tangan-tangan ini saja yang bekerja di sela-sela paha. Jangan percaya kalau ada yang bilang masturbasi itu cocok untuk meredakan nafsu, sebaliknya, masturbasi membuatku semakin siap untuk melepaskan keperawanan. Siap untuk digagahi seseorang.

Pacaran

Secara alami, aku jatuh cinta sama Hansen. Rasanya tidak ada yang buruk atau kurang dari cowok satu ini: jantan, pintar, bisa membawa diri, ngomongnya enak, dan keringatnya harum. Bahkan ketika Hansen sedang basah, aku suka berada dalam dekapannya. Merasakan aromanya. Mendengarkan suaranya yang empuk. Dan biasanya, aku terangsang berat sehingga malamnya aku pasti bermasturbasi.
Tapi jangan pikir kami mengobral seks. Mungkin para cowok bodoh yang otaknya ngeres, maunya seks melulu. Tetapi aku mau bilang, justru kenikmatan pacaran ada dalam proses menahan diri. Dalam suasana berdua, hanya berdua saja, aku dan Hansen tidak lebih dari berpelukan dan berciuman. Dan sebagian besar waktu dipakai untuk ngobrol. Ngobrol. Dan ngobrol.
Aku suka bicara apa saja, karena aku juga suka membaca. Aku membaca Ayu Utami, hebat dia. Aku membaca Kierkegaard. Aku membaca Time. Setidaknya, apa yang Hansen baca, aku juga mau baca. Dia memang pintar, tapi aku juga pintar. Kami bisa membahas banyak hal sampai berjam-jam, dalam diskusi yang padat dan menggairahkan. Aku suka melihat gayanya berbicara, gerak kepalanya, tangannya, bahkan bola matanya. Aku suka melihat ia berbinar-binar menceritakan impian-impiannya, atau keprihatinannya, atau ide-idenya.
Dan aku juga suka joke-nya. Lelucon yang segar, yang cerdas. Bukan sekedar lelucon murahan tentang toket dan titit yang menjemukan, tetapi apa yang baru akan terasa lucu bila benar-benar dipikirkan. Dan setiap kali kami tertawa terbahak-bahak, lepas bebas. Betapa keren gayanya tertawa. Aku tak pernah bosan mendengar suara tawanya.
Setahun kami pacaran, barulah Hansen menyatakan dia cinta padaku. Dan aku cinta padanya. Hari itu adalah waktu-waktu di bulan November, yang langitnya serasa senantiasa mendung dan udara berbau air dan cemara yang tumbuh di halaman depan. Kami sudah ngobrol sepanjang sore, dan waktu sudah menjelang malam. Mungkin sekitar pukul setengah tujuh. Dan Hansen bilang, "Diana… aku cinta sama kamu."
Deg.
"Hansen…" (aku memang biasa memanggil namanya begitu saja) "aku juga cinta padamu."
Lalu kami berciuman.

Meika

Waktu itu adalah satu hari setelah ujian SMU terakhir selesai. Aku masih berseragam abu-abu, merasa puas. Setidaknya aku sudah mengerjakan semua yang aku bisa kerjakan, dan perasaanku mengatakan bahwa aku telah mengerjakannya dengan benar. Beban terakhir sudah berlalu. Tak bisa aku menahan senyum lega, jadi aku menggandeng Meika, berjalan dengan lega melalui kantin yang sepi, karena hari itu kelas-kelas 1 dan 2 libur.
Tetapi, sekosong-kosongnya kantin, masih ada beberapa anak di sana sini. Cowok. Dan mereka menatapku… tiba-tiba saja aku merasa hariku tidak secerah tadi. Mengapa mereka tidak menatap Meika? Bukankah dia yang cantik di sebelahku? Rambutnya yang shaggy, dengan rok yang lebih pendek dariku, dengan kancing baju paling atas terbuka, menunjukkan kulit yang putih bersih. Bukankah ia cantik sekali? Lihat hidungnya. Lihat matanya. Dan lihat bibirnya yang merah muda, menutupi giginya yang berderet putih. Anak SMU yang cantik bergandeng di sisiku. Tapi, kenapa mereka justru memandang padaku?
"Ka, cowok-cowok itu ngapain sih?" setelah kami berlalu dari lorong kantin yang menjemukan itu. Tiba-tiba saja aku merasa bete.
Tapi, kali ini sohibku itu tidak menolong, malah senyum-senyum kecil. Ia memandangiku. "Nanti," katanya, "kita kan punya banyak waktu. Kamu masih di tempatku ‘kan?"
Ya, tiga hari terakhir memang aku menginap di rumah Meika. Bukan apa-apa, aku mau belajar dengan baik. Di rumah ada dua orang adikku yang selalu ribut, lagipula ibu cenderung menyuruhku setiap kali ada kesempatan. Aku yang mau ujian, harus konsentrasi, juga harus istirahat. Tidak mungkin konsentrasi terus menerus. Dan kalau aku setiap kali istirahat disuruh membantu mencuci baju, kapan aku istirahatnya? Jadi, aku minta ijin untuk menginap di rumah Meika, yang senantiasa sepi. Apalagi hari-hari ini, karena ada sepupu Meika yang menikah di kota lain, jadi Hansen dan kedua orang tuanya pergi ke sana selama empat atau lima hari. Mereka berangkat tiga hari yang lalu, jadi paling cepat akan pulang besok sore, atau lusa pagi. Selama mereka pergi, aku menemani Meika belajar. Belajar, dan belajar.
Tapi hari ini ujian sudah selesai, dan aku berjanji untuk tetap menemani Meika di rumah sampai orang tuanya pulang.

Hansen

Gila, aku tidak tahu mengapa aku membuat blog seperti ini. Rasanya seperti orang bingung, yang tidak tahu mau berbagi dengan siapa. Dan kalau mau tahu, tidak biasanya aku seperti ini.
Gara-garanya dimulai dulu sekali… rasanya tidak lama setelah ulang tahunku yang ke tujuh belas. Masih kelas 3 SMU. Waktu itu, aku masih perawan ting ting yang penakut dan rada kuper, walau orang bilang aku cakep dan cowok-cowok mau berdekat-dekatan. Tapi, aku lihat mata mereka lebih sering melotot melihat dada, dan aku takut.
Kamu tahu, sebenarnya punya wajah cantik dan body oke juga mendatangkan kesusahan?
Aku lebih suka belajar. Aku sudah terbiasa menjadi juara kelas, mana ada waktu melayani cowok-cowok yang tahunya hanya mengajak cewek ke bioskop dan makan dan tak tahu malu mengajak nonton film bokep di tempat kost yang bau itu? Bukannya aku tidak tahu, tapi aku memilih untuk jadi kuper saja.
Sampai waktu itu, aku ketemu Hansen. Dia kakak Meika, sohibku yang baik dan cantik dan seksi dan ngajarin aku untuk dandan dan milih baju. Meika cantik, kakaknya ganteng abiss… aku sudah cukup merasa terpesona dengan kecantikan Meika, tapi melihat kakaknya seperti berada dalam mimpi. Dia waktu itu baru berumur 19 tahun, sudah mahasiswa. Baik, gentle, dan baru putus dengan pacarnya.
Meika membawa Hansen pertama kalinya waktu aku ulang tahun ke 17. Rasanya dapat kado yang hebat banget… dan percaya nggak, tadinya aku pikir cowok ini biar cakep tapi nyebelin, karena Meika pernah cerita kalau kakaknya sudah gonta ganti pacar berkali-kali. Malah ada cerita, salah satu cewek kakaknya dulu pernah ditiduri, walau tidak ada kejadian heboh sesudahnya. Memang dia cakep, tapi aku ogah berteman dengan cowok playboy, sekalipun dia itu kakak sahabatku sendiri.
Tapi aku salah. Hansen menyenangkan, dia humoris dan jokenya bersih, sama sekali tidak jorok. Dia pintar. Dan dia bersedia membantu Meika dan aku untuk siap-siap lulus SMU dan masuk universitas. Aku tadinya merasa cukup hebat dengan pelajaran, sampai aku ketemu Hansen dan menyadari bahwa masih ada yang lebih pintar. Oh ya, aku ketemu batunya, tapi hebatnya aku sama sekali tidak merasa tersinggung. Hansen begitu lembut, begitu pengertian… aku bisa merasa aman untuk menampilkan diri apa adanya. Untuk mengakui bahwa ada kalanya aku juga tidak bisa mengerjakan soal-soal latihan. Untuk mengakui bahwa aku juga butuh bantuan dalam studi.
Tak lama setelah pertemuan pertamaku di hari ulang tahun itu, bulan-bulan berikutnya aku jadi rutin datang ke rumah Meika untuk belajar, dibimbing oleh Hansen. Mula-mula hanya seminggu sekali, tetapi semakin dekat hari-hari ujian akhir, aku ke sana hampir setiap sore. Serius belajar, bahkan ngobrol pun tak sempat.
Ada yang kuingat tentang Hansen waktu itu. Rumah Meika mempunyai pekarangan belakang cukup luas dan diplester semen, kemudian dipasang ring basket di situ. Nah, kalo aku datang sore-sore, biasanya Hansen sedang berlatih basket sendirian, dribbling dan shooting. Biasanya pula, dia hampir selesai atau sudah selesai waktu aku datang. Tubuhnya basah berkeringat, dan herannya aku merasa keringatnya harum.
Coba, pernahkah menemukan cowok berkeringat harum? Bukan saja harum, tetapi menggairahkan. Merangsang, tapi aku waktu itu belum tahu soal terangsang. Pikiranku masih terfokus pada pelajaran, namun gambaran tubuh yang indah — kadang Hansen sudah bertelanjang dada menuju kamar mandi — tetap saja masuk ke otakku yang polos itu. Tapi sesudahnya kami belajar, tidak kurang dan tidak lebih.
Ah, mengapa aku menceritakan ini? Semoga tidak membosankan kalian.

Namaku Diana

Namaku Diana. Jangan tanya nama belakangku. Juga jangan tanya orang apa aku. Tidak penting. Mungkin, aku sebenarnya hanya ilusi, hidup dalam khayalan seseorang. Tetapi kamu toh tidak peduli kalau aku ada atau tiada, bukan?
Tetapi, jika aku melihat bayanganku di cermin, di situ ada sosok perempuan yang amat perempuan. Lihat, aku cukup langsing, dengan otot yang baik karena aerobik teratur. Kulitku putih. Rambutku lurus -asli, bukan rebonding- hitam panjang kecoklatan. Ujungnya menyentuh puting-puting dadaku, sepasang bukit yang membulat menantang. Kukira karena ukurannya tidak terlalu besar, maka bisa menonjol bulat seperti itu.
Dan aku mempunyai pinggang yang ramping. Nampaknya, perempuan sekarang banyak yang tidak peduli lagi dengan pinggangnya, karena sudah menunjukkan pusar mereka yang hitam berkerak itu. Bodohnya. Bukan pusar yang penting, melainkan pinggang ramping dan perut yang rata.
Dari pinggang ke bawah, ada sepasang kaki yang ramping pula panjang. Putih. Aku biasa mengolesinya dengan vaselin, untuk mempertahankan kekenyalan kulitnya. Lagipula, aku menikmati sentuhan dingin vaselin di paha-pahaku, kadang aku melumurinya hingga sekitar vaginaku dan menggosok kedua bibir luarnya. Enak. Kalau sudah begitu, aku meneruskan dengan menggosok klitorisku -orang bilang itu kacang perempuan- yang membuatku memuncak dan melayang tinggi. Orgasme.
Jadi, secara umum orang mengakui bahwa aku ini cantik dan seksi, tetapi sebenarnya aku sih merasa biasa saja. Malah aku kadang merasa iri melihat kemolekan cewek lain, apalagi bila kami sedang berolahraga voli seperti biasa, terutama di kamar ganti. Ah, tubuh mereka sungguh aduhai, sehingga aku yang perempuan saja merasa ingin membelainya.
Dan pada mulanya aku sendiri tidak pernah dibelai siapa-siapa. Biar umurku sudah 23 tahun di antara mahasiswi yang sudah jago ngeseks, aku ini masih perawan. Benar-benar perawan -bukan hanya utuh selaput daranya, tapi memang tidak pernah tersentuh lelaki. Bukannya aku tidak suka -kau tahu, aku mendambakannya- tetapi aku ini susah bergaul dengan laki-laki. Merasa minder. Dan aku tidak mau begitu saja disetubuhi orang, seperti beberapa teman cewekku.