Bloggroll

Minggu, 22 Mei 2011

Tanpa Judul

Prolog :
Kota X, pertengahan September 1996

Suasana  sepulang  sekolah merupakan suasana yang  cukup  menyenangkan apabila  semua orang bisa memandangnya dari sudut pandang  Mitha.  Dan Mitha  menikmati  setiap  peristiwa yang  terjadi  di  depan  matanya, merasakan tawa yang keluar dari bibirnya ketika melihat seorang  siswa menjatuhkan   jajanannya  dari  kantung  tasnya,   dan   menggelengkan kepalanya  ketika  melihat  dua anak yang  saling  berpegangan  tangan menyusuri lorong-lorong kelas dan tersipu malu tatkala beberapa  siswa yang berkerumun menyoraki mereka. Indahnya cinta. "Mitha," sebuah suara menyapanya, "maaf aku membuatmu menunggu." Mitha menoleh  dan  melihat Gara berlari-lari  kecil  menghampirinya  sambil terengah-engah.  "Ah, ngga apa-apa kok." jawabnya sambil lalu, toh  ia menikmati suasana ini. "Yuk."  Gara  menggamit lengannya dan menggandengnya  menuju  parkiran sepeda motor di depan sekolah.
Mitha  membiarkan  angin  menyibak rambutnya saat  sepeda  motor  Gara menelusuri  jalan raya menuju ke rumahnya. Tangannya terjulur  memeluk pinggang  Gara  erat-erat,  tangannya yang lain  memegangi  helm  yang menutupi kepalanya supaya tidak terbawa oleh angin saat mereka melaju. Mendadak Gara memelankan laju sepeda motornya. "Mitha," Gara berkata lembut, "kita cari tempat untuk ngobrol yuk." Mitha  mendesah mengiyakan dan merasakan kegalauan yang sejak  kemarin mengamuk di hatinya semakin menjadi-jadi.
Gara   membelokkan  sepeda  motornya  memasuki  sebuah   gang   kecil, menelusuri jalanan sempit itu, dan berhenti di pekarangan sebuah rumah kecil  yang  rindang  ditumbuhi pepohonan. Mitha semakin  kacau.  Gara menurunkan penopang sepeda motornya, menunggu sampai Mitha turun,  dan melangkah  ke  arah teras rumah. Mitha menggenggam tali  tasnya  erat- erat, mencoba mengusir galau hatinya dan mengikuti langkah Gara. Mitha mendudukkan  dirinya di atas kursi taman di depan Gara duduk,  menatap lurus ke ujung-ujung sepatunya.

Mitha  memejamkan matanya mendengar setiap kata-kata penjelasan  Gara. Air  mata mulai mendesak keluar dari kantung matanya.  "Maafkan  aku," desis Gara. Ah, mungkin kata-kata itulah yang paling banyak dilatihnya semalaman  supaya bisa diucapkannya saat ini. "Aku mau pulang,"  Mitha akhirnya  berbisik  lirih. "Aku antar ya?" Gara bangkit  berdiri  dari kursinya.   "Thanks,  tapi  aku  sebaiknya  pulang   sendiri,"   Mitha mengeraskan  hatinya, tak ingin kelihatan cengeng di depan Gara.  Gara memandang  punggung  Mitha  yang  berjalan  menyusuri  pekarangan  dan menghilang  di  balik pagar, Gara menendang  meja  tamunya,  merasakan nyeri di ujung kakinya dan di dalam hatinya.
Mitha merasakan hatinya sedikit tenang saat kakinya melangkah  semakin jauh  dari rumah Gara, Mitha menolehkna kepalanya, menatap atap  rumah itu  yang menyembul di atas pepohonan. Tak ada lagi Gara  yang  manis, yang membelai rambutnya dengan lembut, membuatnya tertawa riang,  yang ada   hanyalah  angin  yang  menghembus  sepoi,  menjadi  saksi   bisu berakhirnya  hubungan cinta yang telah empat tahun terjalin di  antara mereka. Mitha  tidak  memperdulikan  beberapa  pasang  mata  yang   menatapnya bertanya-tanya  selama perjalanan pulang di dalam angkutan  umum  itu, yang diinginkannya saat ini adalah menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, membenamkan kepalanya di dalam bantal dan berteriak  sekuat- kuatnya melepaskan beban di hatinya.
Kota X, sehari menjelang lebaran 2000
"Tiga...dua...satu..."  Ray  mengikuti  detak  jam  dinding  di   atas kepalanya.  Tepat  pada  hitungan  kesatu  Ray  mengangkat  tangannya, menopang  tubuhnya, menggoyangkan kepalanya, dan  memandang  kegelapan ruang di sekelilingnya. Matanya  menangkap  geliatan tubuh telanjang di  sampingnya,  bibirnya menyunggingkan  senyuman nakal. Ray membungkukkan tubuhnya,  menggigit kecil daun telinga gadis di sebelahnya dan berbisik, "I love you..". Gadis  di sampingnya hanya mengeluh pendek, ketidak acuhan  itu  cukup untuk  mengusik  ego Ray. Tangannya terjulur menyusup  ke  balik  kain sprei, memeluk si gadis dari belakang, menemukan, meraba, dan  meremas payudara  si  gadis  di sampingnya, membuat  si  gadis  terbangun  dan menggeliat, "Ray...." "Ssshh...enak  begini," desis Ray di telinga si gadis. Ray  mengangkat paha  kanannya,  memeluk pinggul si gadis dengan  kakinya,  menurunkan pinggulnya  dan menyusupkan batang penisnya di lipatan paha si  gadis. Si gadis mendesah kecil dan membuka pahanya. Ray membenamkan hidungnya di  rambut si gadis, menciumi aroma segarnya,  dan  menggerak-gerakkan pinggulnya,  menggesekkan penisnya di bibir vagina si  gadis.  Telapak tangannya  meremas  dan memijat payudara si gadis,  membuat  si  gadis terengah-engah  dalam kenikmatan yang diberikannya. Ray  mendesis  dan tertawa  lirih  saat  si gadis menjerit kecil  ketika  ujung  penisnya menusuk liang vagina si gadis. Ray menikmati kegusaran gadis itu  yang secara  impresif  membalikkan tubuhnya dan berusaha  menamparnya.  Ray memegang  pergelangan tangan si gadis, mengecup bibirnya,  "Sakit  ya? Kasihan  deh."  Dan  merasakan  tangan  si  gadis  melemas,   membalas ciumannya dan melumat bibirnya. Ray memandang jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul empat pagi. "Ah, puasa terakhirpun kulewatkan," desahnya. Ray bangkit dari  tempat tidur  dan  memunguti  bajunya  yang  berserakan,  mengenakannya,  dan mengecup bibir Enni dari pinggir tempat tidur sebelum melangkah menuju jendela. Maling. Dan tuduhan itu membuatnya geli.
CHAPTER I
Pantai Z, lebaran kedua 2000, pukul 03.00 pagi

"Tapi, Ray, aku masih susah untuk melupakannya." Ray menatap mata sendu Mitha dalam-dalam, memandang kearah pasang yang mulai   terlihat   surut,  menghisap  rokoknya   dalam-dalam,   "Walau bagaimanapun,   yang   namanya  cinta,   memang   cenderung   berakhir menyakitkan, menorehkan luka kenangan yang sulit dilupakan, karena  di situlah letak karasteristik sebuah perasaan cinta." "Ah, tapi ada kan yang cintanya tetap kekal dan membawa kebahagiaan?" Ray  mengembangkan  senyumnya,  membuang  puntung  rokok  yang   masih setengah panjangnya itu jauh-jauh ke pasir pantai, "Jangan mengacaukan cinta  dengan  kasih."  Mitha mengikuti  gerakan  puntung  rokok  yang melayang lalu padam setelah mencapai permukaan pasir, "Maksud kamu?" Ray bangkit berdiri, menggosokkan telapak tangannya yang terasa dingin ke  pahanya,  membersihkan butir-butir pasir  yang  menempel,  "Kasih, tidak  terbawa  oleh nafsu, karena itu ia abadi adanya.  Tetapi  cinta lekat  dengan nafsu, nafsu ingin memiliki, ingin mengikat,  menguasai, memuaskan,  dan egoisme adalah inti utama dari cinta," sampai di  sini Ray  menghela nafasnya, berusaha menimbulkan kesan dalam  pada  setiap ucapannya,  "dan bukankah itu yang selalu  disenandungkan  orang-orang dalam  lagu-lagu mereka? Pernahkah mereka membicarakan tentang  kasih? Kasih  yang tidak menuntut, hanya memberi,  berlandaskan  pengorbanan, tidak  cemburu, murah hati, dan sebagainya seperti yang pernah  engkau pelajari?" Mitha  mengalihkan  pandangannya dari Ray ke arah pantai,  "Kamu  tahu banyak, Ray," gumamnya, "dan mungkin kau benar." Ray tertawa, melompat kecil ke belakang Mitha, memegang pundaknya dan memijat perlahan, "Kau mengerti sekarang?" "Tujuh  puluh  lima persen," senyum Mitha menikmati pijatan  Ray.  Ray mencium  pipi  si  gadis  dari  belakang,  berlari  menuju   mobilnya, membukakan pintu samping dan membungkuk, "Shall we go?" Mitha  tertawa melihat  gayanya  yang konyol, menjewer kuping Ray  sebelum  melangkah masuk ke dalam mobil.
Kota X, awal tahun baru 1997
Mitha  merasa  bingung dengan dirinya sendiri, menyaksikan  Gara  yang berlutut memeluk kakinya dan memohonnya kembali adalah bunga  mimpinya setiap  hari, dan seperti kebanyakan mimpi, Mitha hanya  menganggapnya sebagai  suatu pelampiasan keinginan perfeksionis yang tidak  tercapai di kehidupan nyata. Namun kini...... "Mitha,  aku tak bisa hidup tanpa kamu," Gara membenamkan wajahnya  di sela-sela kaki gadis yang duduk di hadapannya dan membasahinya. "Gara....." Mitha merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. Bahkan sampai  sekarang  aku masih tetap  menyayangimu.  Mitha  membungkukkan tubuhnya,  memegang bahu Gara, dan mengecup  ubun-ubunnya,  "Bagaimana dengan  keluargamu?"  Gara mendekap kaki Mitha lebih  erat,  "Persetan dengan mereka."
Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua 2000, pukul 03.15 pagi
"Alangkah susahnya melupakan cinta pertama." Ray  tersenyum,  memperhatikan pepohonan yang berlari  di  sekitarnya, "Kata  orang,  cinta pertama dibawa mati, 'tul  ngga?"  Mitha  menarik nafas  panjang,  "Aku tak pernah mencoba membayangkan  untuk  mengecup bibir seseorang dan menyerupakannya dengan Gara." Ray  menggerakkan  stirnya  ke kanan,  menghindari  kucing  liar  yang mendadak melintasi jalan. "Bukankah beberapa orang justru melakukannya?"
Masa-masa kebahagiaan dan kedewasaan, 1997-awal 2000
Mitha   memperoleh   kembali  kebahagiaannya   yang   terenggut   saat perpisahannya  dengan Gara. Hubungan 'backstreet'  mereka  berlangsung seakan  begitu sempurna, penuh dengan canda tawa dan keceriaan.  Namun Mitha  harus  rela  menempuh hubungan jarak  jauh  tatkala  Ray  lebih memutuskan  untuk mengikuti amanat orang tuanya sebagai  seorang  anak tunggal,   yaitu  dengan  berkuliah  di  Surabaya,   sementara   Mitha memperoleh  PMDK-nya  dari  sebuah  universitas  negeri  terkemuka  di Bandung. Gara berjanji akan menjenguknya sebisa mungkin. Mitha  sadar  bahwa Gara bukanlah berasal dari  keluarga  yang  mampu, namun   yang   diingat  dan  diinginkannya  saat  itu   adalah   bahwa bagaimanapun ia harus mempertahankan hubungan ini sebisa mungkin. Mitha  mengalami  berbagai  cobaan  yang  berat  selama  kuliahnya  di Bandung, banyak lelaki yang terpikat oleh kemolekan dan  keanggunannya sebagai  keturunan  putri  keraton  dan  berusaha  memikatnya   dengan berbagai cara yang luar biasa yang cukup untuk menjatuhkan hati  gadis manapun juga. Tapi Mitha masih mampu bertahan dan mengeraskan hatinya, menolak  setiap uluran tangan dan godaan yang datang, dan  hanya  bisa melampiaskannya  ketika Gara datang menjenguknya dengan kecintaan  dan kerinduannya, membelai tubuhnya dan bercinta di wisma-wisma murah yang berserakan di sekitar kampusnya.
Mitha  tumbuh dan berkembang menjadi seorang gadis yang lebih  dewasa, dan seiring perkembangannya, Mitha menjadi semakin khawatir akan  masa depan  hubungan  mereka  yang  semakin  kabur  semenjak  rakyat  mulai tersegmentasi  oleh  kekacauan-kekacauan  berbau SARA  yang  marak  di daerah-daerah.  Hal inilah yang mampu menahan dan  menguatkan  dirinya ketika Gara mengendus telinganya di atas kasur murahan dan  memohonnya untuk melakukan hubungan suami istri. Keinginan dan hasratnya tertahan oleh  ketakutannya  sendiri akan masa depan yang kabur itu,  dan  Gara sepertinya   mengerti   akan  ketakutan   itu,   mencoba   menghormati keputusannya,  walaupun terkadang menjadi emosionil  ketika  hasratnya tak terlampiaskan.
"Gara, bagaimana dengan kita?" Mitha mendesah, merasa berat melepaskan kepergian Gara selama dua bulan ke Gresik. Di lain pihak, Mitha  sadar posisi  Gara  yang menjadi harapan satu-satunya  sebagai  calon  tiang penopang perekonomian keluarganya. Gara  memeluk tubuh telanjang Mitha, membisikkan janji-janji indah  ke kupingnya, "Aku akan menyuratimu." bisik Gara. "Aku akan mencoba bertahan," Mitha mendesah lirih. Gara  membungkuk di atasnya, mengecup puting susunya, menindihnya  dan meletakkan batang penisnya di bibir vagina gadisnya. Malam itu menjadi milik  mereka,  namun  bagi Mitha, kenyataan  itu  justru  menimbulkan alasan  baru  untuk  segera mengakhiri ketidak  pastian  cerita  cinta mereka.  Dan  kembali malam itu, Gara merasakan penolakan  Mitha  saat gadis itu mendorong tubuhnya ke samping, memegang batang penisnya  dan memaksa spermanya keluar.
Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua 2000, pukul 03.45 pagi
Ray merasakan pengaruh caffein itu membuat kantung kemihnya beroperasi lebih cepat. Ray mengurangi laju mobilnya dan menghentikannya di  bahu jalan, "Pipis dulu." Mitha melengos dengan perasaan geli, "Gokil, ah." Ray tertawa dan keluar dari mobil.
"Aku  kagum  padamu," Ray berkata ketika mobil  yang  mereka  tumpangi kembali  melaju  di  atas jalanan hutan. "Ah,  Ray.  Aku  bukan  gadis selemah yang kau kira." "Mungkin  cowokmu  yang bego," tawa Ray, yang segera  meringis  ketika kepalan tinju Mitha mendarat di lengan kirinya. Tawa  mereka mengiringi instrumental Richard Clayderman yang  mengalun dari  tape  mobil, menyeruak kegelapan hutan  dan  kerumunan  serangga malam.
CHAPTER II
Ilustrasi Dosa

Gadis itu merintih kecil ketika bibir si Pria menyentuh dan  menghisap lebut puting susunya, badannya menggelinjang di atas kasur yang  mulai basah  oleh  keringat. Si Pria memainkan jemarinya di paha  si  Gadis, membelainya,  menelusurinya,  menemukan dan membuka  lipatan  paha  si Gadis.  Erangan dan keluhan keluar dari bibir si Gadis  ketika  jemari itu   memasuki  dan  membelai  dinding-dinding  vaginanya,   tangannya terangkat  dan  memeluk  leher si Pria  yang  kini  menjilati  seluruh permukaan  dadanya.  Tangan  si Pria  terjulur,  menuntun  pergelangan tangan si Gadis ke arah penisnya, membiarkan jemari si Gadis  bermain- main dengan batang penisnya yang menegang, sementara tangannya sendiri kembali  menyelip di selangkangan si gadis dan  memainkan  bibir-bibir vagina si gadis. Mereka  berdua  mengeluh,  mendesah,  dan  menggelinjang  akan  setiap rangsangan yang saling mereka bagi satu dengan lainnya. Si Pria mengangkat tubuhnya, menatap lurus ke mata si Gadis,  mencari- cari  jawaban  atas  permintaan abstraknya,  mendesah  saat  si  Gadis menganggukkan  kepalanya  dengan  gerakan samar.  Si  Pria  menurunkan pantatnya  perlahan, memegang batang penisnya dengan tangan  kanannya, dan menyentuhkan ujung penisnya menyibak bibir vagina si gadis memburu liang  kehangatannya.  Si Gadis menjerit lirih ketika ujung  penis  si Pria  menusuk  dan berusaha membuka jepitan liang vaginanya.  Si  Pria mengerang  tertahan,  mendengus,  dan  menekan  penisnya  lebih  kuat, kepalanya  menunduk dan menciumi wajah si Gadis yang mulai basah  oleh keringat.  Erang  kesakitan keluar dari bibir si Gadis saat  penis  si Pria berhasil menembus selaput daranya, memenuhi liang vaginanya  yang terasa  berdenyut-denyut.  Si  Pria  membiarkan  gerakannya  terhenti, meresapi  kenikmatan  denyut  otot liang  vagina  si  Gadis,  menciumi lehernya, dadanya, ketiaknya yang bersih. Kesakitan  dan rasa nyeri yang dirasakan si Gadis membuatnya  terengah dan  mengerang,  meronta saat penetrasi batang penis  si  Pria  seakan jarum  yang menusuk saraf-saraf sekujur tubuhnya. Si  Pria  mendengus- dengus,  menggerakkan  pinggulnya  semakin  cepat,  tidak  mengacuhkan geliatan  si  Gadis  dan  erangan  kesakitannya,  mengencangkan   otot pinggulnya,  dan menarik keluar penisnya sebelum spermanya  membanjiri liang vagina si Gadis. Kepala si Pria terangkat, mulutnya mengeluarkan desahan  penuh  kenikmatan.  Si  Gadis  merasakan  otot-otot  tubuhnya melemas,  merasakan  beban yang menindih dadanya saat kepala  si  Pria menempel di permukaan kulit payudaranya.
Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua 2000, pukul 04.15 pagi
"Sssshhh.. hhh...." Ray mengepulkan asap rokok dari tepi bibirnya. Mitha  memandangi  langit  yang  mulai  berwarna  kebiruan,   pertanda matahari  akan  segera  muncul. Beberapa pecari  kayu  bakar  terpaksa meminggirkan  sepeda  mereka  saat mobil yang  dikendarai  kedua  anak manusia itu melaju melintas dengan kecepatan yang cukup untuk  menekan udara menggoyangkan sepeda mereka. "Ray,  benarkah banyak terdapat cowok oportunis di dunia  ini?"  Mitha membuyaran   kesunyian  di  antara  mereka.  Suatu   pertanyaan   yang merepotkan, pikir Ray saat itu, "Seandainya saja kebanyakan pria tidak tercipta dengan pemikiran yang lebih kuat dari perasaannya, dan dengan tanpa libido yang luar biasa, mungkin jawabannya adalah tidak." Mitha menghela nafasnya dalam-dalam, matanya masih memndangi pepohonan dari  balik  jendela  di samping tubuhnya.  "Namun,"  Ray  meneruskan, "sekarang  semuanya kita kembalikan saja kepada yang dinamakan  nafsu. Nafsu  mampu  membuat segala cahaya menjadi kegelapan,  sebaik  apapun manusia, apabila nafsu menguasainya...." "Aku tahu itu," Mitha memotong perkataan Ray.
Bandung, pertengahan Mei 2000
Mitha  merasakan kepiluan hatinya saat menyaksikan Gara yang  menutupi hidung  dan  mulutnya dengan kedua telapak tangannya.  "Maafkan  aku," bahkan  Mitha  tidak  menjadi geli  merasakan  anekdot  ini,  selintas ingatannya betapa iapun berusaha menghapalkan perkataan ini  sepanjang malam untuk melatih keberaniannya, persis seperti Gara beberapa  tahun lalu. Mitha berusaha mengeraskan hatinya untuk tidak mengakui kebohongannya, berusaha mengalihkan pandangan matanya ke ujung-ujung jemari kakinya. "Bunuhlah  aku,  Gara,"  Mitha terisak,  "karena  kelemahanku,  apapun asalkan  kau merasa puas." Mitha mencoba membangkitkan kebencian  Gara kepadanya,  karena  ketidak  mampuannya menahan  godaan  di  saat-saat kesepiannya. Gara menurunkan tangannya, menatap Mitha dengan mata berair, merasakan saraf-sarafnya terbakar di sisi keningnya, menggeram lirih,  "Alangkah ringannya   kematian   atas   luka   yang   kautorehkan   di    jangka kepercayaanku." Gara bangkit berdiri, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya.
Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua 2000, pukul 04.35 pagi
"Mungkin  kamu akan menyetujui pendapat bahwa cinta  yang  bergelimang nafsu   akan  selalu  menuntut  kesetimpalan  perbuatan  apapun   yang mengkhianatinya.  Bukankah  begitu,  Ray?" Mitha  memandang  Ray  yang mencoba memecah konsentrasinya. "Kamu  membuatku  semakin  terbawa oleh  ceritamu,"  Ray  tertawa  dan membuang rokok di jepitan jemarinya keluar jendela.
Bandung, pertengahan Mei 2000
"Gara!"  jeritan  lirih itu tak dihiraukannya.  Gara  memegang  tangan Mitha  dengan  kasar  dan menarik gadis  itu  berdiri,  Mitha  melihat pandangan  mata  Gara dibayangi kebencian bercampur dengan  air  mata, bulu-bulu  roma  gadis itu berdiri dan adrenalin di  sekujur  tubuhnya engalir semakin cepat. Gara  menempelkan tubuhnya di tubuh Mitha, menjambak rambut gadis  itu dan menarik kepalanya ke belakang, mendesis, "Terlalu ringan...." Mitha dapat merasakan hawa kebencian itu menghembus wajahnya. Gara  membalikkan  tubuh  Mitha, tetap  menjambak  rambut  gadis  itu, menekan punggungnya sampai setengah tertelungkup di atas sofa. "Gara....."  Mitha mulai merasakan kengerian itu memaksa  air  matanya mengalir  lebih deras, sejenak keraguan akan rencananya  menyeruak  di benaknya,  namun akankah sesorang mampu membagi alternatif  lain  dari kekerdilan pemikirannya saat itu? Gara  menyelipkan  tangannya  ke balik pakaian  Mitha,  meremas  kasar payudara  si  gadis,  menggeram,  "AKU  sekarang..."  Mitha  mengerang kesakitan  saat  kuku-kuku Gara menancap di kulitnya.  Setelah  merasa puas  meremas,  Gara mengeluarkan tangannya dan mengangkat  rok  Mitha melewati  pinggulnya,  menarik  celana dalam si  gadis  dengan  paksa, membuka  kaki Mitha dengan dengkulnya. Mitha merasakan kepiluan  dalam dirinya,  kenyataan  ini  adalah  yang  kemudian  disadarinya  sebagai konsekuensi yang harus diterimanya dari pengorbanannya sebagai seorang kekasih, membuatnya membatalkan setiap keinginannya untuk meronta  dan melepaskan diri. Gara   menyusupkan  jemarinya  ke  selangkangan  Mitha,  meremas   dan menggesek  dengan  kasar  kemaluan si gadis,  membuat  Mitha  meringis menahan  rasa sakitnya. Gara menggeram dan menggigit pinggul si  gadis dalam-dalam.  meninggalkan jejak kemerahan di kulit Mitha yang  putih, dan  menusukkan telunjuknya ke lubang vagina gadis di bawahnya.  Mitha menjerit  kesakitan,  merasakan  setiap  kengerian  itu  menusuk   dan mengoyak  kemaluannya, namun jeritannya berubah menjadi isak  tertahan saat  Mitha  mengeraskan  hatinya kembali  dengan  menggigit  bibirnya dalam-dalam. "Kamu menyukainya, KAN?" Gara menggeram, merasa puas akan kepasrahan  Mitha.  Gara mengeluarkan jarinya dan  membuka  celananya, mengeluarkan penisnya yang menegang sejak tadi karena rangsangan  dari ilusinya atas persetubuhan Mitha dengan si pria itu. Gara  menahan  tubuh  Mitha dengan  sikut  kirinya,  sementara  tangan kanannya  menggenggam batang penisnya, memainkannya seakan  ragu  akan tindakannya   sendiri.  Namun  hawa  kebencian  dan   imajinasi   yang menyakitkan  hatinya  membuatnya  seakan gila.  Gara  memegang  pantat Mitha,  membukanya  dan menghujamkan penisnya sekuat tenaga  ke  liang vagina  si  gadis.  Mitha membenamkan mulutnya  ke  sofa,  mengerutkan keningnya  dan menjerit sejadi-jadinya, perutnya seakan  ditusuk  oleh pisau tajam yang mengoyak dan mengguncang otot-otot selangkangannya. Gara  mengerang merasakan kesempitan liang vagina gadis  di  bawahnya, dan   mendesis  saat  menggerakkan  pinggulnya  dengan  kasar.   Mitha merasakan  kenyerian  yang amat sangat, air  matanya  membanjiri  kain penutup sofa, gadis itu menggigit kain itu sekuat tenaganya,  berusaha menyalurkan semua rasa sakit di selangkangannya, tangannya  menggapai- gapai  dan  mencengkeram pergelangan tangan Gara  yang  menjambak  dan menekan kepalanya. Gara menggerakkan pinggulnya semakin cepat,  hanyut dalam  kenikmatan kebenciannya, "MAMPUS!" Gara mengerang  dan  menekan penisnya  dalam-dalam.  Mitha  menjerit tertahan  dari  mulutnya  yang terkatup, merasakan cairan sperma itu menyembur membasahi  saraf-saraf di dinding liang vaginanya. Gara menekan-nekan beberapa saat,  menarik keluar batang penisnya yang basah dan berwarna kemerahan, merasa  puas membayangkan  betapa  tindakannya telah menorehkan  luka  di  kemaluan Mitha. Mitha terisak dalam kenyerian dan kepedihan yang dirasakannya.
Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua 2000, pukul 05.05 pagi
Ray  menyalakan  lagi sebatang marlboro yang sudah terselip  di  ujung bibirnya. "Impulsif dan emosionil," Ray mendesis, mengepulkan asap rokok  keluar jendela,   berusaha  untuk  menahan  emosinya  sendiri  yang   sedikit terhanyut.  Rumah-rumah  mulai  banyak  terlihat  di  pinggir   jalan, pertanda  bahwa mereka sudah mulai memasuki kota. "Tapi tepat  seperti apa yang kuharapkan darinya." "Ah?"
Epilog :
Pasca kejadian

Semenjak  kejadian hari itu, Gara tak pernah lagi  menghubungi  Mitha. Mitha sendiri tidak pernah mencoba untuk mengganggu Gara, bahkan  saat Gara  diwisuda,  Mitha  hanya mendengar kabarnya  dari  salah  seorang temannya,  dan hanya bisa berdoa bersyukur karena  akhirnya  cita-cita Gara dan keluarganya tercapai, tanpa gangguan apapun darinya.
Kepuasan   Mitha   digapainya  dengan  keberhasilan   setiap   rencana pengorbanannya untuk keberhasilan Gara, kepuasan menyaksikan kebencian Gara yang mampu membuat lelaki itu melupakannya, kepuasan melihat Gara dan  keluarganya berbaikan kembali setelah sekian lama  berkutat  atas hubungan  mereka,  kepuasan atas keberhasilan Gara  memenuhi  tuntutan orang  tuanya,  dan  terutama, kepuasan karena  akhirnya  ia  berhasil menyerahkan  keperawanannya kepada satu-satunya orang yang ia  kasihi, Gara,   walaupun  semuanya  terasa  begitu  menyakitkan,   dan   lebih menyakitkan  ketika sudut-sudut matanya menyaksikan linangan air  mata di pipi dukun bayi itu saat mengangkat bakal janin dari rahimnya  yang kini invalid.
Mitha  merasakan  hidupnya  selesai,  hasratnya  akan  keindahan   dan kemolekan  keduniawian yang semu di masa depannya lenyap sudah.  Namun kematian  ini  dianggapnya  sebagai  sebuah  kebangkitan  hidup   baru berwujud  penyerahan  seluruh jiwa dan raganya ke  tangan  Penciptanya dalam  pelayanannya  di sepanjang sisa hidup baru itu.  Kenangan  akan cintanya  yang  hanya sekali selamanya merupakan  pemicu  kedekatannya pada Tuhannya, dan dalam tangis pertobatannya setiap malam, nama  Gara adalah satu yang takkan pernah terlewatkan.
Kota X, lebaran kedua 2000
Ray  menghentikan  mobilnya, memandang matahari  yang  mulai  melewati atap-atap  rumah, "Ahh, tak terasa hari mulai pagi." Mitha  tersenyum, memutar  tubuhnya menghadap Ray, sahabat bermainnya sejak kecil,  satu sosok yang diletakkannya di urutan kedua setelah Gara. "Ray..." Ray  membalas  pelukan  Mitha, merasakan tanggul  di  kantung  matanya hancur,  membasahi pundak Mitha dengan air matanya, "Cengeng  ah,  aku tidak apa-apa kok." Ray membenamkan kepalanya, merasa bingung,  karena apapun  yang akan dilakukannya tidak akan mengubah apapun  yang  telah terjadi.  Mitha  menepuk punggung Ray, merasakan air  matanya  sendiri mengalir membasahi baju sahabatnya. "Jangan lupa kunjungi aku di sana, Ray." "Aku   takkan  melewatkan  kesempatan  itu,  untuk  melihat   kerudung menghiasi  keanggunanmu."  bisik Ray di telinga Mitha.  Mitha  tertawa kecil di sela isaknya, "Perayu bodoh." "Tetaplah  berdoa  untukku," Mitha mengecup kening  Ray,"terima  kasih karena  telah mengingatkanku bahwa kasih dan pengorbanan adalah  lebih utama daripada cinta." Mitha menghapus air mata yang mengalir di  pipi sahabatnya dengan ibu jarinya, merasakan kasih sayang seperti  seorang ibu  kepada anaknya, seperti seorang kakak kepada adik  kesayangannya. "Selalu."  Ray  menjawab  lirih, enggan melepas  kepergian  Mitha  dan kehangatan kenangan persahabatan mereka yang sebulan berikutnya  tidak akan dapat terulang seperti dulu lagi. Ray mengamati Mitha yang keluar dari mobilnya, melangkah membuka pagar rumahnya, dan melambaikan tangan mengiringi tekanan kakinya pada pedal gas di bawahnya.
Ray  menghentikan  mobilnya beberapa meter kemudian,  melompat  turun, menghapus  air  mata  yang mengalir kembali  di  pipinya,  melambaikan tanganya dan berteriak,"Selamat Natal, Mitha!!" Mitha berlari kecil keluar pagar, meletakkan telapak tangannya di sisi pipinya. "Selamat Lebaran, Ray!!"
Persahabatan dan kasih, adalah harta yang tak ternilai harganya.
-end-


Mungkinkah  kejadian di atas terjadi? Ah, siapapun  takkan  menyangkal apabila  nafsu yang berwujud emosi akan berubah menjadi  tangan-tangan setan yang menghalalkan segala tindakan untuk pemuasannya. Dan hal ini dirasakan  dan  telah  diperhitungkan secara  matang  oleh  sahabatku, Mitha. Aku kagum dengan pola pikirnya dan perencanaannya yang brilian, dan aku terharu akan kasihnya yang begitu dalam kepada Gara. Rasa malu sangat kurasakan ketika aku berkotbah tentang pengorbanan kasih kepada Mitha,  sementara  pada kenyataannya, ia lebih mengerti  daripada  aku yang hanya berteori. Pengalaman ini ingin kubagi bersama para pembaca, karena  mungkin  pembaca dapat memetik beberapa  point  yang  dianggap paling berkesan dari pengakuan ini.
Aku? Aku sudah melakukannya.... Tobat? Entahlah....
Yang  kutahu  aku  langsung menelepon Rani  begitu  sampai  di  rumah, membangunkannya, dan mengatakan bahwa aku sangat MENGASIHI-nya. Semoga bukan teori.
Wassalam, -RAY-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar