Kisah Dag Dig Dug
Tempat berbagi cerita yang bikin jantung berdetak lebih cepat.
Bloggroll
Rabu, 25 Januari 2012
Film
Ringkasan ini tidak tersedia. Harap
klik di sini untuk melihat postingan.
Selasa, 24 Januari 2012
Two in One
![]() |
| Helen |
Kisah Helen membuka sesuatu dalam pikiranku. Ternyata, orang
yang nampak lugu, sama sekali tidak sepolos kelihatannya. Helen bercerita
dengan gaya ‘lembut’nya seperti biasa, tapi tak urung aku bertanya-tanya,
sebenarnya seliar apakah dia dan Leo di ranjang. Helen menceritakan kisahnya
padaku karena aku sudah lebih dahulu bercerita bagaimana aku berhubungan seks.
Ku kira, Helen hanya menunggu orang yang tepat untuk menuturkan pengalamannya.
Lalu bagaimana dengan Mimi? Bagaimana dengan Indra? Kami
berempat selalu bermain dan bercanda bersama-sama, tetapi sisi-sisi kami adalah
sesuatu yang sudah dipoles, dibuat untuk dilihat. Dibuat nampak lebih ’sopan’
dari biasanya. Pada kenyataannya?
Ada satu fakta yang menarik. Kalau Helen dan Mimi bisa
bersahabat baik, itu adalah karena Leo dan Roger merupakan teman akrab sejak
kecil. Leo pacaran dengan Helen, dan Roger dengan Mimi. Kami sering tertawa
karena kombinasi ini: Mimi Roger, adalah nama artis barat yang lumayan
terkenal. Nah, aku jadi berpikir: kalau Helen sudah digarap dari kecil, sampai
dia berlama-lama jadi mahasiswi yang nggak lulus-lulus ini, bagaimana dengan
Mimi?
Lagipula, dalam hal rencana pernikahan, Mimi Roger sudah
lebih maju daripada Helen Leo. Roger sudah melamar Mimi, resmi kepada orang
tuanya. Ah, apakah Mimi malah sudah… hamil duluan?
Ternyata belum. Mimi benar-benar masih perawan, yang manis
dan putih dan sintal….sexy. Apa yang bisa dikatakan dari Mimi adalah, tubuhnya
serba bulat: pipi yang bulat, mata yang bulat, dada yang bulat, pantat yang
bulat… tapi dengan proporsi yang enak dipandang, tidak gemuk apalagi gendut.
Pas. Roger memang beruntung!
Pre-Marital
Di pagi hari yang cerah, Helen meneleponku. Suaranya serius.
“Ren, ke tempat kostku yah.” Ada apa ini?
Jadi, aku membatalkan rencanaku untuk mengerjakan bab empat
pagi ini, supaya aku bisa ke tempat kostnya. Walaupun Helen orangnya ramai,
tapi sebenarnya dia agak tertutup mengenai dirinya sendiri. Tidak semua orang
tahu di mana tempat kostnya, bagaimana latar belakangnya, atau apa pengalaman
pribadinya. Yang aku tahu — kini sebagai teman dekatnya — hanyalah hal-hal yang
sepele, tentang makanan dan pakaian yang dia suka. Baru sekarang, dia memintaku
datang. Serius lagi.
Kalau ada hal yang lebih pribadi yang aku tahu, hal itu
adalah tentang rencana pernikahan Helen dengan Leo - singkatan Leonardo Di
Caprio…. Ah, maunya! Bukan, namanya adalah Leonardo Angkasaputra. Mereka sudah
pacaran cukup lama, hampir 7 tahun. Dan kita sudah ingin melihat Helen yang
begitu lugu, polos, lucu dan jenaka… akhirnya menikah dengan pemuda ganteng
yang selalu setia menjemput dan mengantar.
Kalau ada hal yang nampak dari Helen, dia itu sepertinya
malu sekali kalau bicara soal seks, atau kalau kami para cewek sedang ‘nakal’
dan bicara yang sedikit jorok. Terutama, kalau aku lagi datang birahi, lagi
ingat betapa enaknya ditiduri cowok, dimasuki penis yang besar… yang biasanya
membuat aku melakukan masturbasi lagi di malam hari. Tidak sering sih, tetapi
ada saja waktunya aku butuh orgasme, walau hanya memakai tangan sendiri. Kalau
sudah ‘horny’ begitu, bicara yang jorok-jorok rasanya enak dan makin bikin
panas. Tapi, Helen malah jadi merah wajahnya…. Wajah yang putih dan ayu dan
baby face itu.
Jadi, aku senyum-senyum sendiri. Apakah Helen mau bertanya
tentang pengalamanku? Mungkin dia sedikit gelisah? Ah…. Nanti aku beritahu,
ngeseks itu enak!
Putus
Cinta itu bukan seks. Walau orang bilang bersetubuh dengan sebutan “Making Love” alias ML, sebenarnya tidak ada cinta yang dibuat. Yang ada adalah hasrat mengangkang, menginginkan penis menerobos masuk, keluar, masuk, keluar, sampai akhirnya sama-sama merasakan dorongan - yang satu orgasme dan yang lain ejakulasi. Merasakan kedutan-kedutan, sambil menikmati semburan di bagian paling intim dalam diri seorang perempuan. Diriku, Rena.
Tapi aku kehilangan cinta. Enam bulan pertama, rasanya hidup adalah Bob. Hanya Bob. Enam bulan berikutnya, ternyata Bob adalah orang yang membosankan, sukar dipahami. Enam bulan berikutnya, aku mulai berpikir tentang hubungan ini, benar-benarkah aku ini jadi istrinya?
Bukan dia yang mengambil keperawananku, yang membatalkan status kegadisanku. Bukan dia yang memulai enaknya rasa bercinta. Dan sekarang, bukan dia juga yang memulai ingin bersetubuh — dan kadang akhirnya hanya jadi kegiatan yang asal cepat saja: buka baju, mengangkang, masukan, genjot-genjot, semprot, lalu tidur. Mengorok pula. Dua atau tiga jam kemudian, bangun, beres-beres, dan kami pun mengurusi tugas masing-masing, karena sekarang kami sudah tingkat 4. Siapa bilang kuliah jurusan Bahasa adalah hal yang gampang?
Tapi lebih dari itu, kami berubah. Bob berubah. Kuduga, aku pun berubah. Entah kenapa, selera seksku tidak sebesar dahulu. Kalau dipikirkan, dulu sebelum aku jadian dengan Bob, aku masih ingin masturbasi, setidaknya menggosok-gosok kelentit yang gatal, sampai aku dapat dan bisa tidur enak. Tapi sekarang, ingin menggosok pun tidak; aku hanya ingin tidur saja. Hanya sesekali saja aku ingin ditusuk-tusuk, biasanya pada saat puncak masa subur, paling banyak lendir licin yang membantu kepala penis itu menerobos masuk. Setelah aku puas…. ya sudah.
Dan tiba-tiba, aku merasa Bob yang serba merenung itu agak membosankan. Tidak ada kejutan. Dan dalam kehidupan sosial, dia itu lebih sering menarik diri, menghindari keramaian, apalagi petualangan. Cowok lain mengisi waktu luang dengan naik mobil dan camping di gunung, Bob memilih untuk membaca novel lagi. Atau menulis di komputer. aku baru sadar, Bob tidak main game komputer.
Jadi akhirnya, aku mengajak Bob berbicara serius. Dan kukira, dia juga sudah tahu, melihat wajahnya dingin. Mengingatkanku pada Bob dahulu, sebelum aku pacaran dengannya. Tidak peduli?
Kami putus tanpa banyak basa basi. Ya sudah. Bob juga kelihatannya tidak keberatan. Apakah dia bosan bersetubuh denganku? Mungkin, melihat jarangnya ia menginginkan kemaluanku, dan semakin jarang meremas pantatku. Ternyata, seks memang bukan cinta, dan kalau diumbar sebelum waktunya hasilnya hanya kehampaan.
Lama kemudian, aku membaca blog ini lagi dan sekali lagi harus mengakui kebenaran Kak Di: memang harus jaga keperawanan sampai hari pernikahan. Atau, kalau memang kehilangan keperawanan sebelum menikah, pastikan bahwa akhirnya akan menikah juga dengan orang itu. Bukan seksnya yang penting, melainkan kesetiaan dan komitmen, yang lebih penting dari upacara. Itulah satu hal yang membedakan pacaran dengan pernikahan: tidak ada komitmen dalam pacaran, apapun hubungan yang dilakukan. Sekalipun penis itu sudah masuk vagina, anus, dan mulutku berulang kali, memuntahkan pejunya di sana sini, namun tanpa komitmen kami tidak bisa melanjutkan dengan hal yang lebih utama: punya anak.
Aku pikir-pikir lagi, hubungan badan kami menjadi hambar karena setiap kali berhubungan kami sama-sama takut akan kehadiran si kecil. Bob seringkali bertanya, “sudah minum pilnya belum?” - dan itulah pertanyaan yang paling membosankan. Aku pikir, secara naluri, aku ini ingin jadi ibu.
Dulu aku begitu terkesan dengan “mencintai, tapi bukan mengingini”. Aku keliru. Mencintai seharusnya mengingini, yaitu meneruskan kehidupan. Aku ingin anak dalam rahimku, yang kelak akan kulahirkan, lalu kudekap. Tapi Bob tidak mau jadi ayah. Tidak sekarang. Apakah nanti mau? Nanti pun tidak. Kalau begitu, kapan? Kami menghindari pembicaraan pernikahan. Bob berubah, dia menjadi semakin takut menghadapi pernikahan.
Kalau aku putus, Bob merasa lega. Ah, sungguhkah dia dihantui oleh pernikahan?
Aku kembali menjadi single, sendiri, jomblo, atau apalah namanya. Aku kembali mengenakan pakaian standar; dengan kaus dalam dan BH yang tidak menonjol, celana dalam yang lebih lebar, dan celana panjang yang lebih ‘normal’. Setidaknya bukan jenis jeans yang menggantung di pinggang. Aku lebih serius menekuni kuliah, mempersiapkan skripsi. Aku juga mulai menekuni kegiatan agama, karena di sana aku menemukan jawaban. Juga pengampunan, karena aku paling susah mengampuni diri sendiri. Kalau Tuhan menerimaku kembali, setidaknya aku harus menerima diriku juga. Apa adanya.
Sisi positifnya, aku mulai bergaul dengan beberapa cewek lain — yang dahulu aku hindari. Dahulu aku pernah membuat seorang gadis diperkosa, dan sejak itu entah mengapa aku selalu merasa bersalah. Aku merasa tidak bisa menjadi teman perempuan yang baik, karena nyatanya aku sudah pernah mencelakakan kaumku sendiri. Tetapi hubungan dengan Bob memulihkan beberapa hal, dan aku kembali merasa jadi perempuan seperti apa adanya, termasuk bergaul lagi. Dan bagaimanapun juga, aku adalah seorang yang cantik (ini kata banyak orang lho), yang menarik teman-teman yang cantik-cantik juga, yang polos-polos dan baik-baik. Masih perawan, tidak kenal seks walau mereka semua sudah berpacaran lama. Aku yang tahu seks, malah sekarang sudah putus!
Yang satu namanya Helen, lalu temanku yang dari luar Jawa namanya Mimi. Satu lagi dari Bali, namanya Indra. Helen dan Mimi orangnya putih dan cantik, dan ramai sekali. Kalau Indra, kulitnya gelap, dan orangnya halus serta pendiam. Kalau Helen dan Mimi sudah tertawa terbahak-bahak, Indra hanya senyum simpul saja. Namun kami berempat semakin hari semakin akrab, dan mereka sangat penasaran tentang putusnya hubunganku dengan Bob.
Ini adalah saat-saat yang menakutkan. Aku tidak ingin kehilangan teman, tetapi tidak enak juga menahan-nahan cerita, apalagi dari Helen yang tidak jemu bertanya. Aku tahu, dia itu bertanya karena sifatnya yang peduli dan bersahabat, jadi akhirnya aku memutuskan untuk mengungkap cerita hubunganku dengan Bob, termasuk bahwa kami sudah bersetubuh seperti suami istri. Waktu aku selesai bercerita, aku memandang mereka dengan kecut. Apakah dengan cerita ini mereka lantas akan menjauhiku?
Ternyata, mereka memang teman yang baik. Mereka tidak berkomentar negatif. Mereka bilang, “ohh… kok nggak pernah cerita sih? gua pikir kamu takut juga sama cowok. Nggak pernah ngajak-ngajak ngobrolin gituan. Tahunya udah jagoan….” Lantas kami pun bercanda dan tertawa bersama kembali. Enak ya bersahabat seperti ini, karena akhirnya aku bisa menceritakan semua bagian masa laluku yang gelap. Dan dengan penerimaan mereka, rasanya masa lalu ini benar-benar terbuang ke laut, yang tidak pernah aku ingat-ingat lagi.
Beberapa bulan kemudian, aku bahkan mulai lupa bagaimana rasanya penis masuk ke vagina. Tidak ingat, tidak menginginkan, walau aku masih ingin punya suami. Tapi dengan pengalaman bersama Bob, aku pikir ada baiknya aku lebih menahan diri. Nanti sajalah, ketemu laki-laki.
Nah, yang lebih menarik justru kisahnya Helen, Mimi dan Indra, karena ketiga temanku ini sudah dilamar, mau menikah setelah wisuda nanti. Mereka jadi ingin tahu, seperti apa seks itu…
Sampai nanti.
Tapi aku kehilangan cinta. Enam bulan pertama, rasanya hidup adalah Bob. Hanya Bob. Enam bulan berikutnya, ternyata Bob adalah orang yang membosankan, sukar dipahami. Enam bulan berikutnya, aku mulai berpikir tentang hubungan ini, benar-benarkah aku ini jadi istrinya?
Bukan dia yang mengambil keperawananku, yang membatalkan status kegadisanku. Bukan dia yang memulai enaknya rasa bercinta. Dan sekarang, bukan dia juga yang memulai ingin bersetubuh — dan kadang akhirnya hanya jadi kegiatan yang asal cepat saja: buka baju, mengangkang, masukan, genjot-genjot, semprot, lalu tidur. Mengorok pula. Dua atau tiga jam kemudian, bangun, beres-beres, dan kami pun mengurusi tugas masing-masing, karena sekarang kami sudah tingkat 4. Siapa bilang kuliah jurusan Bahasa adalah hal yang gampang?
Tapi lebih dari itu, kami berubah. Bob berubah. Kuduga, aku pun berubah. Entah kenapa, selera seksku tidak sebesar dahulu. Kalau dipikirkan, dulu sebelum aku jadian dengan Bob, aku masih ingin masturbasi, setidaknya menggosok-gosok kelentit yang gatal, sampai aku dapat dan bisa tidur enak. Tapi sekarang, ingin menggosok pun tidak; aku hanya ingin tidur saja. Hanya sesekali saja aku ingin ditusuk-tusuk, biasanya pada saat puncak masa subur, paling banyak lendir licin yang membantu kepala penis itu menerobos masuk. Setelah aku puas…. ya sudah.
Dan tiba-tiba, aku merasa Bob yang serba merenung itu agak membosankan. Tidak ada kejutan. Dan dalam kehidupan sosial, dia itu lebih sering menarik diri, menghindari keramaian, apalagi petualangan. Cowok lain mengisi waktu luang dengan naik mobil dan camping di gunung, Bob memilih untuk membaca novel lagi. Atau menulis di komputer. aku baru sadar, Bob tidak main game komputer.
Jadi akhirnya, aku mengajak Bob berbicara serius. Dan kukira, dia juga sudah tahu, melihat wajahnya dingin. Mengingatkanku pada Bob dahulu, sebelum aku pacaran dengannya. Tidak peduli?
Kami putus tanpa banyak basa basi. Ya sudah. Bob juga kelihatannya tidak keberatan. Apakah dia bosan bersetubuh denganku? Mungkin, melihat jarangnya ia menginginkan kemaluanku, dan semakin jarang meremas pantatku. Ternyata, seks memang bukan cinta, dan kalau diumbar sebelum waktunya hasilnya hanya kehampaan.
Lama kemudian, aku membaca blog ini lagi dan sekali lagi harus mengakui kebenaran Kak Di: memang harus jaga keperawanan sampai hari pernikahan. Atau, kalau memang kehilangan keperawanan sebelum menikah, pastikan bahwa akhirnya akan menikah juga dengan orang itu. Bukan seksnya yang penting, melainkan kesetiaan dan komitmen, yang lebih penting dari upacara. Itulah satu hal yang membedakan pacaran dengan pernikahan: tidak ada komitmen dalam pacaran, apapun hubungan yang dilakukan. Sekalipun penis itu sudah masuk vagina, anus, dan mulutku berulang kali, memuntahkan pejunya di sana sini, namun tanpa komitmen kami tidak bisa melanjutkan dengan hal yang lebih utama: punya anak.
Aku pikir-pikir lagi, hubungan badan kami menjadi hambar karena setiap kali berhubungan kami sama-sama takut akan kehadiran si kecil. Bob seringkali bertanya, “sudah minum pilnya belum?” - dan itulah pertanyaan yang paling membosankan. Aku pikir, secara naluri, aku ini ingin jadi ibu.
Dulu aku begitu terkesan dengan “mencintai, tapi bukan mengingini”. Aku keliru. Mencintai seharusnya mengingini, yaitu meneruskan kehidupan. Aku ingin anak dalam rahimku, yang kelak akan kulahirkan, lalu kudekap. Tapi Bob tidak mau jadi ayah. Tidak sekarang. Apakah nanti mau? Nanti pun tidak. Kalau begitu, kapan? Kami menghindari pembicaraan pernikahan. Bob berubah, dia menjadi semakin takut menghadapi pernikahan.
Kalau aku putus, Bob merasa lega. Ah, sungguhkah dia dihantui oleh pernikahan?
Aku kembali menjadi single, sendiri, jomblo, atau apalah namanya. Aku kembali mengenakan pakaian standar; dengan kaus dalam dan BH yang tidak menonjol, celana dalam yang lebih lebar, dan celana panjang yang lebih ‘normal’. Setidaknya bukan jenis jeans yang menggantung di pinggang. Aku lebih serius menekuni kuliah, mempersiapkan skripsi. Aku juga mulai menekuni kegiatan agama, karena di sana aku menemukan jawaban. Juga pengampunan, karena aku paling susah mengampuni diri sendiri. Kalau Tuhan menerimaku kembali, setidaknya aku harus menerima diriku juga. Apa adanya.
Sisi positifnya, aku mulai bergaul dengan beberapa cewek lain — yang dahulu aku hindari. Dahulu aku pernah membuat seorang gadis diperkosa, dan sejak itu entah mengapa aku selalu merasa bersalah. Aku merasa tidak bisa menjadi teman perempuan yang baik, karena nyatanya aku sudah pernah mencelakakan kaumku sendiri. Tetapi hubungan dengan Bob memulihkan beberapa hal, dan aku kembali merasa jadi perempuan seperti apa adanya, termasuk bergaul lagi. Dan bagaimanapun juga, aku adalah seorang yang cantik (ini kata banyak orang lho), yang menarik teman-teman yang cantik-cantik juga, yang polos-polos dan baik-baik. Masih perawan, tidak kenal seks walau mereka semua sudah berpacaran lama. Aku yang tahu seks, malah sekarang sudah putus!
Yang satu namanya Helen, lalu temanku yang dari luar Jawa namanya Mimi. Satu lagi dari Bali, namanya Indra. Helen dan Mimi orangnya putih dan cantik, dan ramai sekali. Kalau Indra, kulitnya gelap, dan orangnya halus serta pendiam. Kalau Helen dan Mimi sudah tertawa terbahak-bahak, Indra hanya senyum simpul saja. Namun kami berempat semakin hari semakin akrab, dan mereka sangat penasaran tentang putusnya hubunganku dengan Bob.
Ini adalah saat-saat yang menakutkan. Aku tidak ingin kehilangan teman, tetapi tidak enak juga menahan-nahan cerita, apalagi dari Helen yang tidak jemu bertanya. Aku tahu, dia itu bertanya karena sifatnya yang peduli dan bersahabat, jadi akhirnya aku memutuskan untuk mengungkap cerita hubunganku dengan Bob, termasuk bahwa kami sudah bersetubuh seperti suami istri. Waktu aku selesai bercerita, aku memandang mereka dengan kecut. Apakah dengan cerita ini mereka lantas akan menjauhiku?
Ternyata, mereka memang teman yang baik. Mereka tidak berkomentar negatif. Mereka bilang, “ohh… kok nggak pernah cerita sih? gua pikir kamu takut juga sama cowok. Nggak pernah ngajak-ngajak ngobrolin gituan. Tahunya udah jagoan….” Lantas kami pun bercanda dan tertawa bersama kembali. Enak ya bersahabat seperti ini, karena akhirnya aku bisa menceritakan semua bagian masa laluku yang gelap. Dan dengan penerimaan mereka, rasanya masa lalu ini benar-benar terbuang ke laut, yang tidak pernah aku ingat-ingat lagi.
Beberapa bulan kemudian, aku bahkan mulai lupa bagaimana rasanya penis masuk ke vagina. Tidak ingat, tidak menginginkan, walau aku masih ingin punya suami. Tapi dengan pengalaman bersama Bob, aku pikir ada baiknya aku lebih menahan diri. Nanti sajalah, ketemu laki-laki.
Nah, yang lebih menarik justru kisahnya Helen, Mimi dan Indra, karena ketiga temanku ini sudah dilamar, mau menikah setelah wisuda nanti. Mereka jadi ingin tahu, seperti apa seks itu…
Sampai nanti.
Jumat, 30 Desember 2011
Love Game
Love is a game, they said. Cinta adalah permainan, yang
dimainkan oleh dua orang. Aturan permainannya sederhana: yang satu harus
membuat yang lain bahagia. Kedengarannya mudah, tetapi jika memasukkan faktor
ego yang menghendaki kebahagiaan bagi diri sendiri, urusan menjadi runyam.
Ruwetnya begini (khusus pada cewek): pada umumnya cowok akan bahagia jika bisa
membahagiakan ceweknya. Jadi, bagi cewek ada dua hal untuk memenangkan
permainan ini, pertama ia harus membahagiakan cowoknya, kedua ia sendiri harus
bahagia, yang mana tidak dapat terjadi bila cowoknya tidak membahagiakan. Hal
ini biasanya tidak terjadi pada cowok, karena ia tidak harus kelihatan bahagia
untuk membahagiakan cewek. Itulah ukuran yang dari jaman dahulu sudah berlaku:
cowok itu pemimpin, serba-logika, dan dengan keperkasaan ia membahagiakan
gadis-gadisnya.
Baiklah, yang pertama adalah pengamanan. Sejak pernyataan
cinta antara aku dan Bob yang menghebohkan itu, aku mempunyai sebuah kebiasaan
baru: menelan pil putih kecil. Pil KB. Pil ini cara pakainya memang harus
dimulai pada hari pertama mens, yang kebetulan terjadi (benarkah kebetulan?)
ketika untuk pertama kalinya Bob memasukkan penisnya ke dalam liangku. Efeknya
hebat, berdarah-darah… tapi tentu saja itu bukan darah perawan, melainkan darah
mens. Malam itu aku langsung ke apotik membeli beberapa pak, karena aku yakin
bahwa semua ini akan berlangsung lama.
Yang kedua adalah, jangan mengumbar seks. Kalau sedang
datang bulan, tentu saja tidak bisa berhubungan. Tetapi ketika sudah bersih
pun, bukan berarti setiap saat siap ditancap. Dalam permainan cinta, justru
ketegangannya harus dibangun dahulu… dan lelaki membutuhkan waktu untuk mengisi
kantung maninya. Jika terlalu sering dikeluarkan, ia malah menjadi loyo dan
tidak bersemangat. Apa enaknya bersetubuh dengan lelaki yang loyo?
Sejak aku jadian dengan Bob, aku mengubah penampilanku.
Sekarang aku lebih sering memakai sweater yang besar, terbuat dari rajutan
dengan benang berwarna merah dan perak, menutup dari leher sampai sejengkal di
atas lutut. Di bawahnya aku memakai jeans yang menggantung di panggul, seperti
gayanya Agnes Monica (atau Britney Spears?), yang panjangnya hanya sampai
betis. Sangat casual, menyembunyikan lekuk tubuh dan terutama payudaraku — aku
merasa bahwa keduanya semakin besar belakangan ini. Aku mengikat rambutku yang
sebahu dengan kuncir ekor kuda, mengenakan make-up tipis — tapi aku meyakinkan
diri bahwa aku harus tampil lebih cantik dari biasanya.
Semua ini adalah gayanya Bob. Dia pemikir, tenang, tidak
tergesa-gesa. Ia menyukai kesederhanaan, juga kecantikan. Baginya menatap wajah
cantik lebih menarik ketimbang menatap tubuh yang seksi, atau serba
buka-bukaan. Katanya, yang tertutup itu menawarkan fantasi, khayalan yang bisa
terwujud apa saja. Lebih menarik ketimbang sekedar memperlihatkan pusar atau
bahu atau paha, yang kadang justru terlihat berbercak, terlalu kurus, atau
terlalu gemuk. Ha, tapi tubuhku kan tidak berbercak, dan proporsional pula! Bob
hanya tersenyum.
“Kalau Rena, tubuhnya memang sempurna,” katanya lagi.
Dengan kesederhanaan ini, plus aku memberi waktu ekstra
untuk wajah dan rambut, malah mengundang lebih banyak pandangan lelaki. Mereka
nampak kecewa ketika menyadari bahwa aku sekarang ini sudah jadian dengan Bob.
Ah, mungkin Bob benar, memang lelaki justru senang yang seperti ini. Bob
menerangkan, jika lelaki tertarik melihat kulit perempuan, pikirannya hanya
ngeres saja. Tapi melihat kecantikan dan kesederhanaan, lelaki justru
merindukan. Tapi, aku mau agar Bob juga ngeres sesekali…
Satu hal yang dimiliki perempuan adalah, ada waktu terbaik
untuk bercinta. Tandanya terlihat dari lendir yang keluar dari vagina. Ketika
lendirnya kental, seperti putih telur, itu berarti awalnya. Ketika lendir
menjadi semakin encer, aku pun merasa lebih bergairah, birahiku tinggi. Jadi,
aku akan membuat agar Bob ingin berhubungan di saat-saat itu…waktu yang paling
enak, paling mengesankan. Seperti sekarang ini.
Ketika pagi itu aku dijemput Bob di tempat kost dengan
sepeda motornya, aku merapatkan tubuh ke depan. Di lampu merah, aku berbisik di
telinganya,
“Bob… enak banget di belakang. Aku nggak pake apa-apa lagi
di balik sweater ini.”
Bukan Gadis Lagi
Nama gue Rena. Atau begitulah Kak Di memberi nama di
rangkaian tulisan ini. Pertama aku aku lihat dan baca, aku bingung dan heran.
Gila, Kak Di bikin tulisan beginian? Tapi, setelah membaca, aku mengerti, dasar
Kak Di memang nakal tapi baik hati…
Namun, karena sekarang Kak Di sudah terlalu sibuk mengurusi
anaknya, jadi dia menyerahkan blog ini kepadaku. Terus terang, aku tidak
terlalu pandai menulis, jadi belajar banyak dari cara Kak Di membuat tulisan.
Dibilang menyontek gayanya, yah… habis bagaimana lagi, ini kan sudah terpatri.
Kak Di memang hebat, sudah lebih dari kakak kandung sendiri. Malah, rasanya
seperti Ibu sendiri…
Seperti ceritanya Kak Di, mulanya aku tinggal di rumah Kak
Di. Tetapi sekarang aku sudah kuliah, jadi aku pindah kost di dekat kampus.
Sekarang aku tingkat 2, jurusan bahasa. Mungkin memang darah menulis ada dalam
keluarga kami, ya? Tetapi aku tidak tahu, apakah kesukaan pada sex juga menjadi
warisan turun temurun, setelah aku melalui semuanya. Hanya saja, aku tidak suka
judul blog ini, jadi setelah minta ijin pada Kak Di, aku menggantinya jadi “Not
A Girl, Not Yet A Woman”. Gara-garanya, aku baru melihat video klipnya Britney
Spears. Memang klip lama, tapi rasanya melantunkan keadaanku sekarang.
Begini, masa laluku tidak begitu baik. Aku sudah menjadi
perempuan nakal sejak SMU. Aku, Rena yang cantik dan pandai, sudah menjadi ratu
sekolah yang tidak mengijinkan ada pesaing di lingkungan sekolah. Dan aku sudah
membuat seorang pesaing kehilangan kegadisannya, dalam suatu kebodohan yang tak
termaafkan. Aku membuatnya diperkosa bergantian, tanpa sadar bahwa aku sendiri
diincar sebagai korban. Bukan hanya dia yang mengalami penodaan, aku sendiri
pun mengalami bagaimana batang lelaki memasuki liang keperawananku, direkam
lagi. Lebih parahnya, aku memberikan dengan sukarela, seperti pelacur yang
gembira ditiduri pelanggannya. Dan rekaman itu kemudian beredar, seluruh murid
tahu seperti apa bentuk memekku dan bagaimana darah mengalir keluar ketika
penis besar itu menerobos masuk. Semua tahu.
Aku pun kehilangan semua harga, semua kehormatan. Aku bukan
gadis lagi. Aku perempuan binal yang membuat teman sesamaku kehilangan selaput
daranya, lalu aku sendiri menyerahkan dengan sukarela. Dan semua
menyaksikannya. Tidak mungkin aku meneruskan sekolah di situ, dan aku pun
pindah ke tempatnya Kak Di, sampai selesai. Itu pun, aku masih mengalami
perkosaan…hukuman yang pantas bagiku.
Senin, 26 Desember 2011
The Rapist
![]() |
| Rena |
Orang yang paling senang mendengar berita kehamilanku adalah
Meika.
“Wuaaahhhhh!!! Selamat ya! Mmmuuaach! Muuaachh! Muaacchh!….
mmmuuu….”
“Sudah, sudah ah Ka….”
“Belon! Waduh! Gua seneng banget. Huaebaat bangeett!!”
“Hebat apanya? Udah kawin ya terus hamil, ya biasa aja
‘kan?”
“Ngga biasa! Apalagi si Ko Han-Han itu udah pengin banget.
Dan gua juga pengin keponakan…. hihihi… buat nemenin si Erick.”
“Erick kan udah ampir dua taon.”
“Justru itu! Jadi dia punya dedek!”
“Ka, emangnya kamu gak mau nambah anak lagi?”
Mendadak, Meika diam. Ooops, aku salah bertanya. Aku tahu,
Robby, suaminya, sudah tidak begitu hangat lagi. Apalagi, sekarang ini Meika
mulai mendapat karir sebagai pengusaha wanita yang sukses, sebaliknya Robby
malah kena PHK. Pesangonnya sih besar, tapi kebanggaan laki-laki kan pekerjaan…
tapi, memang dari dulu si Robby begitu. Agak malas. Maunya bersenang-senang.
Ngeseks. Duh, seandainya saja Meika waktu itu tidak hamil….
Sementara itu, ternyata hamil bukan sesuatu yang
menyenangkan. Aku mabok di pagi hari, muntah di siang hari, lemas di sore hari,
pokoknya serba tidak karuan rasanya. Untungnya ada Rena, yang sekarang terbukti
benar-benar jadi malaikat bagi keluarga kami. Dia betul-betul berubah; sekarang
setiap pulang sekolah, Rena selalu membereskan rumah, mencuci pakaian, dan
mulai belajar memasak. Aku tahu caranya memasak, tetapi sejak hamil ini aku
tidak tahan mencium bau bawang. Jadi, aku hanya memberi petunjuk, lalu
terbaring lemah di ranjang. Rena yang mengerjakan ini dan itu.
Langganan:
Komentar (Atom)



